Selasa, 17 Maret 2009

PERKAWINAN BAWAH TANGAN ATAU PERKAWINAN S I R I ???
Istilah perkawinan bawah tangan atau kadang juga disamakan dengan perkawinan siri oleh masyarakat awam timbul setelah berlakunya Undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu ketentuan dalam pasal 2 ayat 2 yang mengatakan bahwa setiap perkawinan harus didaftarkan. Sebelum berlakunya Undang-undang tersebut tidak dikenal istilah perkawinan bawah tangan atau perkawinan siri itu, karena memang ketika itu tidak semua daerah di Indonesia mewajibkan setiap perkawinan itu harus didaftarkan. Untuk jelasnya, suatu perkawinan bawah tangan adalah perkawinan yang tidak didaftarkan atau terdaftar menurut undang-undang atau oleh kantor pencatat perkawinan / perceraian. Perkawinan bawah tangan sebetulnya tidak sama dengan perkawinan siri, karena perkawinan bawah tangan lebih luas dari perkawinan siri. Untuk jelasnya dapat diterangkan bahwa perkawinan bawah tangan itu adalah perkawinan yang tidak terdaftar pada kantor atau pejabat pencatat perkawinan di Indonesia yang dapat berupa :
1. Perkawinan siri, yang katanya siri atau itu berarti tersembunyi atau disembunyikan, tetapi ada lagi yang mengatakan bahwa siri itu berasal dari syariah, artinya perkawinan yang bersangkutan telah memenuhi syarat dan hukum syariah atau agama, jadi sudah syah menurut agama. Tentu saja istilah pekawinan siri ini hanya bisa dikaitkan dengan perkawinan secara agama Islam, kalau memang perkawinan telah memenuhi rukun nikah menurut syariah Islam.Sedangkan rukun nikah menurut agama Islam yaitu: a). Adanya seorang laki-laki dan seorang wanita yang menjadi calon pengantin, 2) Adanya wali nikah dari calon penganrtin wanita , c) Adanya dua orang saksi yang menyaksikan perkawinan tersebut, d) Adanya ijab kabul ,yaitu ucapan ijab (penawaran) dari wali nikah pengantin perempuan , dan dijawab dengan kabul (penerimaan) oleh calon pengantin laki-laki. Perkawinan yang tidak didaftarkan seperti perkawinan siri ini, bisa juga terjadi perkawinan yang berdasarkan agama lain selain agama Islam, dan syah menurut agama tersebut, misalnya agama Katolik atau Kristen dan lainnya, tetapi tidak terdaftar di kantor pencatat perkawinan. Misalnya menurut agama Katolik, suatu perkawinan bisa syah bila dilakukan di gereja dimana diberikan sakramen atas perkawinan itu, sakramen atas suatu perkawinan tidak mungkin diberikan selain di gereja, misalnya di rumah, atau di gedung pertemuan atau di ruangan mewah di suatu hotel. Jadi perkawinan siri itu adalah syah menurut agama, bisa dilakukan menurut agama Islam atau juga berdasarkan agama selain Islam, tetapi tidak didaftarkan oleh Kantor Pencatat perkawinan, yaitu bagi perkawinan selain Islam oleh Kantor Catatan Sipil, kalau perkawinan secara Islam harus didaftarkan oleh Kantor/Pegawai Pencatat Nikah pada Kanor Urusan Agama setempat.
2. Perkawinan antara warga negara Indonesia, yang dilakukan di luar negeri , tetapi tidak didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan di Indonesia, sekembalinya mereka di Indonesia, seperti perintah dalam pasal 56 ayat 2 Undang-Undang no. 1 tahun 1974, yaitu dalam waktu satu tahun setelah mereka kembali di Indonesia, perkawinan mereka harus di catat pada Kantor Catatan Sipil (bagi perkawinan secara non Islam), dan Kantor Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama (bagi perkawinan secara Islam), dimana mereka berdomisili. Sama dengan perkawinan siri, dimana perkawinan tersebut syah menurut agama, maka perkawinan antara warga negara Indonesia di luar negeri, adalah syah bila dilakukan sesuai ketentuan formal atau undang-undang yang harus diikuti bila perkawinan dilakukan di negara asing itu. Tetapi untuk warga negara Indonesia yang kawin di luar negeri, disamping harus mengikuti hukum dan undang-undang di negara asing itu, mereka pun harus tidak boleh melanggar undang-undang yang berlaku di Indonesia, misalnya larangan perkawinan beda agama atau untuk berpoligami, bagi yang laki-laki muslim, untuk kawin lagi atau tambah isteri tentu saja harus ada izin dari Pengadilan Agama dari kota / daerah yang bersangkutan berasal (Pasal 56 ayat 1 akhir Undang-Undang no. 1 tahun 1974)
Mengenai perkawinan yang tidak terdaftar sesuai pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan, dalam undang-undang bersangkutan tidak ada ketentuan sanksinya, kalau tidak didaftarkan. Tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ada disebutkan yaitu dalam pasal 5 ayat 1 dikatakan: Agar terjamin perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat; kemudian pasal 6 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa untuk memenuhi ketentuan pasal 5 diatas, setiap pekawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah, Serta pasal 6 ayat 2 mengatakan: bahwa Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah , tidak mempunyai kekuatan hukum. Jadi dalam Kompilasi Hukum Islam tegas dikatakan bahwa perkawinan yang tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum, artinya tidak bisa diberi akibat hukum bila dimintakan dari pejabat atau aparat pemerintah, misalnya untuk berperkara di Pengadilan Agama, misalnya untuk gugat cerai akan ditolak, karena akta nikahnya tidak ada, atau akta kelahiran bagi anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat tersebut.
Kesimpulannya Perkawinan Bawah Tangan itu ada dua macam yaitu : 1 Perkawinan yang syah menurut agama dari calon pengantin, (misalnya :perkawinan siri dalam agama Islam), tetapi tidak didaftarkan oleh Kantor Pencatat Pekawinan. 2. Perkawinan antara warga negara Indonesia yang dilakukan di luar negeri, bila syah menurut undang-undang di negera asing tadi, tetapi tidak didaftarkan dalam waktu setahun, sekembalinya di Indonesia pada Kantor Pencatat Perkawinan dimana mereka berdomisili di Indonesia. Tetapi mohon untuk diperhatikan bagi Kantor Pencatat Perkawinan di Indonesia, untuk memperhatikan perkawinan mereka di luar negeri itu, apakah tidak melanggar ketentuan perundang-undangan di Indonesia, umpama larangan kawin beda agama atau untuk berpoligami, kalau melanggar, maka pendaftaran perkawinan dilakukan di luar negeri itu harus ditolak, artinya status perkawinannya tidak mempunyai kekuatan hukum di Indonesia, sama dengan perkawinan bawah tangan. artinya bila akan bercerai harus pergi ke luar negeri pula.

1 komentar:

HAM mengatakan...

Bagaimana kalau ibu A (WNI) dan bapak B (WNA) menikah di luar negeri sejak 5 tahun yang lalu, tetapi tidak pernah didaftarkan di Kedutaan Indonesia di sana. Anak lahir di luar negeri SEBELUM MENIKAH yang dengan otomatis memiliki kewarganegaraan WNA. Dalam akte kelahiran anak terbitan luar negeri, tidak tercantum nama ayah sama sekali karena pada saat itu ayah tidak mau dengan anak itu. Pernikahan terjadi setelah anak itu lahir. Setelah 3 tahun mereka berpisah tanpa cerai di luar negeri, ibu A (WNI) membawa anak ke Indonesia dengan persetujuan B (WNA). Kemudian, setelah 1 tahun anak sekolah di Indonesia, B (WNA) berubah pikiran dan menggugat A dengan hukum luar negeri bahwa A menculik. Anak sudah bersekolah di Indonesia dan berbahasa Indonesia penuh, tidak bisa berbahasa asing lagi.
Kemungkinan B akan ke Indonesia untuk menuntut A dengan hukum Indonesia. Sampai saat ini anak sudah 2 tahun lebih di Indonesia. Bagaimana kedudukan A dalam kasus ini?