Penetapan dari Pengadilan Negeri Bogor tersebut diatas dengan Hakim Tunggal, telah dengan jelas mengabulkan permohonan sepasang calon pengantin berbeda agama (Islam dan Katolik) untuk didaftarkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil Bogor, dan diantara mereka belum ada pelaksanaan perkawinan secara agama. Dalam Penetapan Pengadilan Bogor tersebut juga sekali gus memerintahkan kepada Kantor Catatan Sipil Bogor untuk mendaftarkan perkawinan (yang belum ada atau berlangsung) antara calon pasangan pengantin itu.
Fakta hukum yang ditemukan:
1. Pemohon I , bernama HS (Pria, beragama Islam), Pemohon II, bernama IT (wanita, beragama Katolik., sebagai calon pengantin.
2. Dua orang saksi, masing-masing sebagai paman Pemohon I, dan paman Pemohon II, memberikan kesaksian bahwa antara mereka calon pengantin telah berkeinginan untuk kawin tetapi tetap memegang dan memeluk agama masing-masing. dan kedua orang tua calon pengantin tersebut setuju, walaupun mereka berbeda agama. Menurut para saksi, pejabat Kantor Catatan Sipil Bogor, menyarankan agar ada persetujuan dari Pengadilan Bogor untuk pendaftaran perkawinan mereka itu.
3. Saksi M.Effendi, pegawai Kantor Catatan Sipil Bogor, bagian Pencatatan Perkawinan, memberikan keterangan: bahwa pencatatan perkawinan para pemohon terhalang karena berbeda agama, dan mengatakan bahwa perkawinan yang berlainan agama diatur dalam pasal 35 Undang-Undang no. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Menurut pengakuan saksi, selama bekerja di Kantor Catatan Sipil Bogor bagian pencatatan perkawinan, belum pernah terjadi permohonan seperti dalam kasus ini, dan biasanya pencatatan perkawinan didahului oleh prosesi perkawinan Agama, namun di Bogor sendiri ada beberapa Gereja yang menginginkan pencatatan perkawinan dilakukan terlebih dahulu sebelum prosesi perkawinan Agama. Dikatakan juga oleh saksi bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Catatan Sipil maka perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum Negara.
Tentang pertimbangan Hukumnya:
1. Tujuan pokok permohonan para pemohon, agar perkawinan antara calon pengantin beda agama itu, bisa melangsungkan perkawinan mereka dan mencatatkan perkawinan mereka tersebut di Kantor Catatan Sipil kota Bogor.
2. Dengan adanya permohonan para Pemohon, untuk mencatatkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil Bogor dapat ditafsirkan bahwa para pemohon khususnya Pemohon I sudah tidak menghiraukan status Agamanya, dan mereka berkeinginan untuk mencatatkan perkawinan mereka di Kantor Catatan Sipil Kota Bogor, maka hal ini merupakan kewenangan Pengadilan Negeri Bogor untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta memberikan Penetapan atas permohonan para pemohon (lihat Putusan Mahkamah Agung no. 1400 K / Pdt / 1986 tanggal 20 Januari 1989)
3. Bahwa pasal 2 ayat 1 Undang-Undang no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan ketentuan yang berlaku bagi perkawinan diantara 2 orang yang sama agamanya. Sehingga terhadap perkawinan diantara 2 orang berlainan agamanya tidaklah dapat diterapkan berdasarkan ketentuan tersebut (Putusan Mahkamah Agung No. 1400 K / Pdt 1986 tanggal 20 Januari 1989)
4 Menimbang bahwa perkawinan yang terjadi diantara 2 orang yang berlainan status agamanya hanya diatur dalam penjelasan pasal 35 huruf : a Undang-Undang no. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan ditegaskan bahwa : "yang dimaksud dengan Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah Perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama" Ketentuan tersebut pada dasarnya merupakan ketentuan yang memberikan kemungkinan dicatatkannya perkawinan yang terjadi diantara 2 orang yang berlainan Agama setelah adanya Penetapan Pengadilan tentang hal tersebut, sedangkan terhadap proses terjadinya suatu perkawinan sebagaimana dimaksudkan dalam UU no. 1 tahun 1974 dan PP no. 9 tahun 1975 tidak diatur lebih lanjut dalam ketentuan tersebut (UU no. 23 tahun 2006, blogger). Sehingga terhadap hal-hal yang berkaitan dengan proses terjadinya suatu perkawinan itu sendiri baik tentang sahnya suatu perkawinan, syarat-syarat perkawinan , larangan perkawinan dan tata cara pelaksanaan perkawinan masih mengacu pada ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam UU no.1 tahun 1974 dan PP no. 9 tahun 1975 (Hakim Tunggal masih mengakui tetap berlaku ketentuan tentang syahnya dan tentang larangan suatu perkawinan dalam UU no.1 tahun 1974 dan PP no. 9 tahun 1975 , blogger)
Berdasarkan fakta hukum dan uraian diatas, Pengadilan Negeri Bogor (dengan Hakim Tunggal) berpendapat:
1. Dalam UU no.1 th 1974 tidak diatur kalau suatu perkawinan yang terjadi diantara calon suami dan calon isteri yang memiliki keyakinan Agama berbeda merupakan larangan perkawinan atau dengan kata lain UUno.1 th 1974 tidaklah melarang terjadinya perkawinan diantara mereka yang berbeda agama (suatu pendapat yang sukar diterima, ketentuan melarang perkawinan demikian ada dalam pasal 8 huruf f. UU no.1 th 1974, blogger)
2. Berdasarkan pasal 28 B ayat 1 UUD 1945, ditegaskan bahwa setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (perkawinan sah di Indonesia adalah harus sesuai pasal 2 ayat 1 UU no. 1 th 1974 juncto larangan kawin pada pasal 8 huruf f UU no. 1 th 1974, bloger), dimana ketentuan inipun sejalan dengan pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh Negara kemerdekaan setiap warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing (Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 menjamin kemerdekaan warga negara memeluk agama, bukan menjamin kebebabasan beragama. Kalau kebebasan beragama berarti setiap orang boleh mematuhi atau tidak mematuhi perintah/larangan agama yang dianut. Kalau kemerdekaan memeluk agama yang dijamin negara, maka setiap orang harus patuh dan taat pada semua perintah / larangan agama yang dianut, blogger ) Mengenai pembahasan bunyi pasal 29 ayat 2, tentang Negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk memeluk agama dan kepercayaannya, dan bukan menjamin kebebasan beragama , dan apa beda kemerdekaan memeluk agama dengan kebebasan beragama , lihat pidato pengukuhan penulis/blogger sebagai guru besar pada 16 Januari 2008 di USAKTI, dalam blog ini juga.
Alasan dari sanggahan atau protes atas Penetapan Pengadilan Negeri BOGOR tersebut diatas:
1. Yang dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Bogor adalah pencatatan perkawinan dan memerintahkan pencatatannya di Kantor Catatan Sipil Bogor, sedangkan perkawinan diantara para pemohon belum berlangsung, berarti belum ada perkawinan yang akan didaftarkan. Kalau Hakim Tunggal Pengadilan Bogor, mengartikan pencatatan / pendaftaran perkawinan yang dikabulkannya atau diperintahkannya itu sekali gus sebagai perintah melaksanakan perkawinan diantara pasangan calon pengantin, apakah ini tidak melanggar fungsi dan tugas Kantor Catatan Sipil sekarang ini, yaitu hanya mencatat, perkawinan, kelahiran, dan kematian saja dan tidak termasuk mengawinkan orang, beda dengan masa sebelum berlakunya UU no. 1 th 1974, yaitu juga merangkap melaksanakan perkawinan calon pengantin. Artinya hakim tunggal Pengadilan Bogor telah melanggar ketentuan perundangan-undang yang berlaku, justru ditetapkan fungsi Kantor Catatan Sipil itu dalam UU no. 23 tahun 2006 sendiri.
2. Pendapat Hakim Tunggal PengadilanNegeri Bogor, yang mengatakan bahwa UU no. 1 th 1974 tidak mengatur tentang perkawinan antara calon pengantin yang berbeda agama, berarti tidak melarang perkawinan beda agama itu. Hakim tunggal tersebut mengacu pada Keputusan Mahkamah Agung no. 1400 K/Pdt/1986 tgl 20 Januari 1989, yang diketuai oleh Ali Said,SH, suatu Keputusan Kasasi dari Mahkamah Agung, yang ditentang oleh sebagian besar Hakim Agung lainnya ketika itu dengan mengatakan bahwa keputusan kasasi Mahkamah Agung tersebut merupakan kesalahan besar, antara lain oleh Hakim Agung Bismar Siregar ,SH berkata bahwa putusannya Mahkamah tersebut bukan mengenai wewenangnya (Rusdi Malik, "Peranan agama dalam Hukum Perkawinan di Indonesia", 2005, halaman 99) Menurut para pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Juswo Hudowo,SH dan Indra Warga Dalem,SH, UU n0.1 th. 1974 bukannya belum mengatur atau tidak mengatur perkawinan beda agama, tetapi sudah jelas dan tegas sesuai dengan sistem pada UU no. 1 th 1974, yaitu melarang perkawinan beda agama, maka tidak perlu ada pasal pengaturan tata cara perkawinan beda agama lagi (Rusdi Malik , "Peranan Agama dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, 2001 , halaman 61).
3. Kasus yang di tetapkan oleh Pengadilan Bogor tersebut diatas, sebenarnya dapat diselesaikan dengan tidak melanggar UU no. 1 tahun 1974 dan UU no.23 tahun 2006, bila pejabat di Kantor Catatan Sipil , khusus di Bogor serta Hakim Tunggal Pengadilan Bogor sempat membaca atau mengetahui suatu perkawinan beda agama dapat dilakukan dengan cara perkawinan agama Katolik, dimana sakramennya diberikan di gereja Katolik, yaitu diatur dalam Hukum Kanonik pasal 1125, 1226 dan pasal 1228, seperti yang disampaikan atau ditulis oleh dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara P.C.Hadiprastowo (yang beragama Katolik), apalagi kasus di Pengadilan Bogor ini juga menyangkut salah satu pemohonnya beragama Katolik (Rusdi Malik: "Peranan Agama dalam Hukum Perkawinan di Indonesia",2005, halaman 109-110).
4. Mengenai kemerdekaan memeluk agama dan kepercayaan adalah merupakan hak asasi yang paling asasi dari Tuhan YME, disamping itu ada pula hak untuk memilih teman hidup untuk dikawini juga dikatakan merupakan salah satu hak asasi manusia pula. Adalah tepat sekali pendapat sementara para ahli yang memandang kedua buah hak asasi manusia itu tidak sama posisinya atau kadar "asasi"nya, karena kemerdekaan memeluk agama dan melaksanakan ibadah menurut agama dan kepercayaan itu itu bersangkutan dengan keyakinan, sedangkan hak memilih teman hidup untuk kawin, bersangkutan atau mengenai kesenangan. Keyakinan adalah lebih tinggi dan lebih mendasar dari pada kesenangan. (Rusdi Malik: "Peranan Agama dalam Hukum Perkawinan di Indonesia", 2005, halaman 80)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar