Dengan adanya ketentuan pasal 2 ayat 2 Undang-Undang no.1 tahun 1974, maka akte nikah yang dikeluarkan oleh kantor pencatat perkawinan untuk suatu perkawinan merupakan alat bukti yang terkuat bagi pembuktian suatu perkawinan bersangkutan. Bagaimanakah status suatu perkawinan tidak bisa menunjukkan akte nikah nya. Maka khusus bagi perkawinan berdasarkan agama Islam di Indonesia, oleh Kompilasi Hukum Islam Indonesia, diadakan suatu lembaga yang disebut i t s b a t , yang diatur dalam pasal 7 Kompilasi Hukum Islam Indonesia, sesuatu hal yang tidak ada ditemukan dalam Hukum Islam. Jadi lembaga itsbat itu betul-betul akibat dari ketentuan pasal 2 ayat 2 Undang-Undang no.1 1974, setiap perkawinan harus didaftar. Dalam pasal 7 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam berbunyi: Dalam hal perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Pasal 7 ayat 3 membatasi pengajuan itsbat nikah suatu perkawinan, dengan mengatakan bahwa : Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan : a). Adanya perkawinan dalam rangka perceraian. b). Hilangnya Akta nikah. 3).Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan. 4) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang no.1 tahun 1974 dan 5) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut undang-undang no.1 tahun 1974
Jadi boleh dikatakan bahwa tidak semua perkawinan siri, yang sudah pasti tidak punya akta nikah itu boleh dimintakan itsbat nikahnya kepada Pengadilan Agama, tetapi hanya yang memenuhi syarat pasal 7 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam saja.
Sekarang timbul pertanyaan dalam praktek, bagaimanakah penanganannya atau penyelesaiannya perkawinan bawah tangan yang berdasarkan agama non Islam, dapatkah dimintakan akta perkawinannya pada Pengadilan Negeri bersangkutan ? . Terhadap pertanyaan seperti ini, dapat dijawab sebagai berikut : Mengenai perkawinan berdasarkan agama non Islam, seperti kita ketahui, khusus untuk orang Bumiputera (Indonesia)yang beragama Kristen dalam zaman Hindia Belanda dahulu diatur dalam Huwelijk Ordonantie voor Christen Indonesia (HOCI), Staatblad tahun 1993 tahun 1974 dan Staatblad 1933 no 75 jo Staatblad 1939-288, dikatakan bahwa perkawinan Bumiputera Kristen dilakukan oleh pejabat Kantor Catatan Sipil bertempat di Kantor Catatan Sipil. Ketentuan tentang perkawinan orang Indonesia Kristen (Bumiputera Kristen) tersebut sangat ketat pelaksanaannya, pelaksanaan dan sekali gus pencatatannya dilakukan oleh Pejabat Kantor Catatan Sipil, dan bukan dilaksanakan oleh atau didepan pejabat atau pemuka agama Kristen (pendeta atau pastor). Ketentuan tersebut diperkuat dengan ancaman hukuman bagi pemuka agama (pendeta atau pastor) yang mengawinkan calon pengantin secara agama sebelum dilakukan perkawinan oleh atau didepan pejabat Kantor Catatan Sipil (pasal 530 WvS=KUHP), sehingga boleh dikatakan perkawinan orang Indonesia Kristen sejak zaman Hindia Belanda dahulu, dilakukan dan sekali gus dicatat di Kantor Catatan Sipil. Lain halnya perkawinan orang Indonesia yang beragama Islam, boleh dikatakan atau pada umumnya tidak dicatat oleh pejabat negara, kecuali untuk didaerah tertentu yaitu di daerah yang masuk kerajaan di Jawa Tengah (Vorstenlanden). Karena itu tidak heran, boleh dikatakan tidak pernah atau jarang kemungkinan terjadi perkawinan bawah tangan (seperti perkawinan siri pada sementara orang Indonesia Islam), di kalangan masyarakat Kristen Indonesia, sampai hari ini, terutama sebelum berlakunya Undang-undang no.1 tahun 1974. Karena itu tidak mungkin adanya lembaga semacam itsbat (pasal 7 Kompilasi Hukum Islam Indonesia) bagi perkawinan yang berdasarkan agama non Islam terutama Kristen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar