Senin, 30 Maret 2009

PROTES ATAU SANGGAHAN / KOMENTAR atas Penetapan Pengadilan Negeri Bogor no. 111 / Pdt.P / 2007 / PN.BGR tertanggal 19 Nopember 2007 .

Penetapan dari Pengadilan Negeri Bogor tersebut diatas dengan Hakim Tunggal, telah dengan jelas mengabulkan permohonan sepasang calon pengantin berbeda agama (Islam dan Katolik) untuk didaftarkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil Bogor, dan diantara mereka belum ada pelaksanaan perkawinan secara agama. Dalam Penetapan Pengadilan Bogor tersebut juga sekali gus memerintahkan kepada Kantor Catatan Sipil Bogor untuk mendaftarkan perkawinan (yang belum ada atau berlangsung) antara calon pasangan pengantin itu.
Fakta hukum yang ditemukan:
1. Pemohon I , bernama HS (Pria, beragama Islam), Pemohon II, bernama IT (wanita, beragama Katolik., sebagai calon pengantin.
2. Dua orang saksi, masing-masing sebagai paman Pemohon I, dan paman Pemohon II, memberikan kesaksian bahwa antara mereka calon pengantin telah berkeinginan untuk kawin tetapi tetap memegang dan memeluk agama masing-masing. dan kedua orang tua calon pengantin tersebut setuju, walaupun mereka berbeda agama. Menurut para saksi, pejabat Kantor Catatan Sipil Bogor, menyarankan agar ada persetujuan dari Pengadilan Bogor untuk pendaftaran perkawinan mereka itu.
3. Saksi M.Effendi, pegawai Kantor Catatan Sipil Bogor, bagian Pencatatan Perkawinan, memberikan keterangan: bahwa pencatatan perkawinan para pemohon terhalang karena berbeda agama, dan mengatakan bahwa perkawinan yang berlainan agama diatur dalam pasal 35 Undang-Undang no. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Menurut pengakuan saksi, selama bekerja di Kantor Catatan Sipil Bogor bagian pencatatan perkawinan, belum pernah terjadi permohonan seperti dalam kasus ini, dan biasanya pencatatan perkawinan didahului oleh prosesi perkawinan Agama, namun di Bogor sendiri ada beberapa Gereja yang menginginkan pencatatan perkawinan dilakukan terlebih dahulu sebelum prosesi perkawinan Agama. Dikatakan juga oleh saksi bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Catatan Sipil maka perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum Negara.
Tentang pertimbangan Hukumnya:
1. Tujuan pokok permohonan para pemohon, agar perkawinan antara calon pengantin beda agama itu, bisa melangsungkan perkawinan mereka dan mencatatkan perkawinan mereka tersebut di Kantor Catatan Sipil kota Bogor.
2. Dengan adanya permohonan para Pemohon, untuk mencatatkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil Bogor dapat ditafsirkan bahwa para pemohon khususnya Pemohon I sudah tidak menghiraukan status Agamanya, dan mereka berkeinginan untuk mencatatkan perkawinan mereka di Kantor Catatan Sipil Kota Bogor, maka hal ini merupakan kewenangan Pengadilan Negeri Bogor untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta memberikan Penetapan atas permohonan para pemohon (lihat Putusan Mahkamah Agung no. 1400 K / Pdt / 1986 tanggal 20 Januari 1989)
3. Bahwa pasal 2 ayat 1 Undang-Undang no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan ketentuan yang berlaku bagi perkawinan diantara 2 orang yang sama agamanya. Sehingga terhadap perkawinan diantara 2 orang berlainan agamanya tidaklah dapat diterapkan berdasarkan ketentuan tersebut (Putusan Mahkamah Agung No. 1400 K / Pdt 1986 tanggal 20 Januari 1989)
4 Menimbang bahwa perkawinan yang terjadi diantara 2 orang yang berlainan status agamanya hanya diatur dalam penjelasan pasal 35 huruf : a Undang-Undang no. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan ditegaskan bahwa : "yang dimaksud dengan Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah Perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama" Ketentuan tersebut pada dasarnya merupakan ketentuan yang memberikan kemungkinan dicatatkannya perkawinan yang terjadi diantara 2 orang yang berlainan Agama setelah adanya Penetapan Pengadilan tentang hal tersebut, sedangkan terhadap proses terjadinya suatu perkawinan sebagaimana dimaksudkan dalam UU no. 1 tahun 1974 dan PP no. 9 tahun 1975 tidak diatur lebih lanjut dalam ketentuan tersebut (UU no. 23 tahun 2006, blogger). Sehingga terhadap hal-hal yang berkaitan dengan proses terjadinya suatu perkawinan itu sendiri baik tentang sahnya suatu perkawinan, syarat-syarat perkawinan , larangan perkawinan dan tata cara pelaksanaan perkawinan masih mengacu pada ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam UU no.1 tahun 1974 dan PP no. 9 tahun 1975 (Hakim Tunggal masih mengakui tetap berlaku ketentuan tentang syahnya dan tentang larangan suatu perkawinan dalam UU no.1 tahun 1974 dan PP no. 9 tahun 1975 , blogger)
Berdasarkan fakta hukum dan uraian diatas, Pengadilan Negeri Bogor (dengan Hakim Tunggal) berpendapat:
1. Dalam UU no.1 th 1974 tidak diatur kalau suatu perkawinan yang terjadi diantara calon suami dan calon isteri yang memiliki keyakinan Agama berbeda merupakan larangan perkawinan atau dengan kata lain UUno.1 th 1974 tidaklah melarang terjadinya perkawinan diantara mereka yang berbeda agama (suatu pendapat yang sukar diterima, ketentuan melarang perkawinan demikian ada dalam pasal 8 huruf f. UU no.1 th 1974, blogger)
2. Berdasarkan pasal 28 B ayat 1 UUD 1945, ditegaskan bahwa setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (perkawinan sah di Indonesia adalah harus sesuai pasal 2 ayat 1 UU no. 1 th 1974 juncto larangan kawin pada pasal 8 huruf f UU no. 1 th 1974, bloger), dimana ketentuan inipun sejalan dengan pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh Negara kemerdekaan setiap warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing (Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 menjamin kemerdekaan warga negara memeluk agama, bukan menjamin kebebabasan beragama. Kalau kebebasan beragama berarti setiap orang boleh mematuhi atau tidak mematuhi perintah/larangan agama yang dianut. Kalau kemerdekaan memeluk agama yang dijamin negara, maka setiap orang harus patuh dan taat pada semua perintah / larangan agama yang dianut, blogger ) Mengenai pembahasan bunyi pasal 29 ayat 2, tentang Negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk memeluk agama dan kepercayaannya, dan bukan menjamin kebebasan beragama , dan apa beda kemerdekaan memeluk agama dengan kebebasan beragama , lihat pidato pengukuhan penulis/blogger sebagai guru besar pada 16 Januari 2008 di USAKTI, dalam blog ini juga.
Alasan dari sanggahan atau protes atas Penetapan Pengadilan Negeri BOGOR tersebut diatas:
1. Yang dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Bogor adalah pencatatan perkawinan dan memerintahkan pencatatannya di Kantor Catatan Sipil Bogor, sedangkan perkawinan diantara para pemohon belum berlangsung, berarti belum ada perkawinan yang akan didaftarkan. Kalau Hakim Tunggal Pengadilan Bogor, mengartikan pencatatan / pendaftaran perkawinan yang dikabulkannya atau diperintahkannya itu sekali gus sebagai perintah melaksanakan perkawinan diantara pasangan calon pengantin, apakah ini tidak melanggar fungsi dan tugas Kantor Catatan Sipil sekarang ini, yaitu hanya mencatat, perkawinan, kelahiran, dan kematian saja dan tidak termasuk mengawinkan orang, beda dengan masa sebelum berlakunya UU no. 1 th 1974, yaitu juga merangkap melaksanakan perkawinan calon pengantin. Artinya hakim tunggal Pengadilan Bogor telah melanggar ketentuan perundangan-undang yang berlaku, justru ditetapkan fungsi Kantor Catatan Sipil itu dalam UU no. 23 tahun 2006 sendiri.
2. Pendapat Hakim Tunggal PengadilanNegeri Bogor, yang mengatakan bahwa UU no. 1 th 1974 tidak mengatur tentang perkawinan antara calon pengantin yang berbeda agama, berarti tidak melarang perkawinan beda agama itu. Hakim tunggal tersebut mengacu pada Keputusan Mahkamah Agung no. 1400 K/Pdt/1986 tgl 20 Januari 1989, yang diketuai oleh Ali Said,SH, suatu Keputusan Kasasi dari Mahkamah Agung, yang ditentang oleh sebagian besar Hakim Agung lainnya ketika itu dengan mengatakan bahwa keputusan kasasi Mahkamah Agung tersebut merupakan kesalahan besar, antara lain oleh Hakim Agung Bismar Siregar ,SH berkata bahwa putusannya Mahkamah tersebut bukan mengenai wewenangnya (Rusdi Malik, "Peranan agama dalam Hukum Perkawinan di Indonesia", 2005, halaman 99) Menurut para pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Juswo Hudowo,SH dan Indra Warga Dalem,SH, UU n0.1 th. 1974 bukannya belum mengatur atau tidak mengatur perkawinan beda agama, tetapi sudah jelas dan tegas sesuai dengan sistem pada UU no. 1 th 1974, yaitu melarang perkawinan beda agama, maka tidak perlu ada pasal pengaturan tata cara perkawinan beda agama lagi (Rusdi Malik , "Peranan Agama dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, 2001 , halaman 61).
3. Kasus yang di tetapkan oleh Pengadilan Bogor tersebut diatas, sebenarnya dapat diselesaikan dengan tidak melanggar UU no. 1 tahun 1974 dan UU no.23 tahun 2006, bila pejabat di Kantor Catatan Sipil , khusus di Bogor serta Hakim Tunggal Pengadilan Bogor sempat membaca atau mengetahui suatu perkawinan beda agama dapat dilakukan dengan cara perkawinan agama Katolik, dimana sakramennya diberikan di gereja Katolik, yaitu diatur dalam Hukum Kanonik pasal 1125, 1226 dan pasal 1228, seperti yang disampaikan atau ditulis oleh dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara P.C.Hadiprastowo (yang beragama Katolik), apalagi kasus di Pengadilan Bogor ini juga menyangkut salah satu pemohonnya beragama Katolik (Rusdi Malik: "Peranan Agama dalam Hukum Perkawinan di Indonesia",2005, halaman 109-110).
4. Mengenai kemerdekaan memeluk agama dan kepercayaan adalah merupakan hak asasi yang paling asasi dari Tuhan YME, disamping itu ada pula hak untuk memilih teman hidup untuk dikawini juga dikatakan merupakan salah satu hak asasi manusia pula. Adalah tepat sekali pendapat sementara para ahli yang memandang kedua buah hak asasi manusia itu tidak sama posisinya atau kadar "asasi"nya, karena kemerdekaan memeluk agama dan melaksanakan ibadah menurut agama dan kepercayaan itu itu bersangkutan dengan keyakinan, sedangkan hak memilih teman hidup untuk kawin, bersangkutan atau mengenai kesenangan. Keyakinan adalah lebih tinggi dan lebih mendasar dari pada kesenangan. (Rusdi Malik: "Peranan Agama dalam Hukum Perkawinan di Indonesia", 2005, halaman 80)

Sabtu, 21 Maret 2009

Penjelasan pasal 35 Undang-Undang no 23 / 2006 tentang Adminitrasi Kependudukan timbulkan masalah karena membolehkan perkawinan beda agama

Undang-Undang no. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang juga mengatur tentang Pencatatan Perkawinan di Indonesia yaitu dalam pasal 34, 35 dan 36. Dalam pasal 35 dikatakan atau berbunyi : Pencatatan perkawinan sebagimana dimaksud dalam pasal 34 berlaku pula bagi : a). perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan , dan b). perkawinan warga negara asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan warga negara asing yang bersangkutan. Sampai dengan pasal 35 dan 36 dari undang-undang ini, dapat dimengerti dan dapat diterima akal, tetapi herannya dalam penjelasan atas pasal 35 , yang bunyinya sangat tidak bisa diterima bila dihubungkan dengan pasal 2 ayat 1 dan pasal 8 huruf f Undang-Undang no. 1 tahun 1974
Undang-Undang no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan :
* Pasal 2 ayat 1 : Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Dalam Penjelasan atas Undang-Undang no. 1 tahun 1974 terhadap pasal 2 diatas : Dengan perumusan pada pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan UUD 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
* Pasal 8 :Perkawinan dilarang antara dua orang yang : a. berhubungan darah ........, b. ..... c.............d........... e......... f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
** Pasal 35 Undang-Undang no. 23 tahun 2006 tentang Adminitrasi Kependudukan berbunyi:
Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 berlaku pula bagi :
a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan dan
b. perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Negara Asing
yang bersangkutan.
** Bunyi Penjelasan pasal 35 Undang-Undang no 23 tahun 1006 : Huruf a : Yang dimaksud dengan "Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan" adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.
Ungkapan yang dikemukakan diatas, memperlihatkan bahwa suatu penjelasan atas suatu pasal dari suatu undang-undang, menghapuskan atau membatalkan suatu ketentuan atau bunyi dari suatu pasal undang-undang yang lain
Walaupun bunyi pasal 8 huruf Undang-Undang no. 1 tahun 1974, tidak tegas menyebutkan larangan perkawinan beda agama, tetapi sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa setiap agama di Indonesia melarang perkawinan antara umat yang berbeda agama. Hal tersebut diperkuat dengan bunyi Penjelasan atas pasal 2 ayat Undang-Undang no. 1 tahun 1974 bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sedangkan bunyi penjelasan pasal 35 Undang-undang no. 23 tahun 2006 mengizinkan perkawinan beda agama dan mendaftarkannya.
Masyarakat dan rakyat Indonesia telah mengetahui dan memaklumi, bahwa, sejak berlakunya Undang-Undang no. 1 tahun 1974, suatu perkawinan diantara pasangan yang berbeda agama atau iman adalah dilarang, tetapi dengan adanya penjelasan dari pasal 25 Undang-Undang no.23 tahun 2006, seakan-akan perkawinan beda dibolehkan asal melalui penetapan pengadilan.
Walaupun hanya berupa penjelasan atas suatu pasal, karena bisa dicueki atau dikesampingkan, asal ketentuan atau diktum dari pasal yang terkait tidak berbunyi sama, bagi kita yang sangat berkepentingan bagi kepastian hukum tentang perkawinan di Indonesia, perlu diambil tindakan dan sikap yang tegas, dari para anggota legislatif, yudikatif (khususnya Mahkamah Konstitusi) dan aparat pemeritah. Bersama ini kami mohon perhatian bagi yang berminat dan berkepentingan untuk mengambil sikap dan perhatian terhadap hal yang sangat serius ini. Karena dalam tahun 2007 yang lalu, Pengadilan Negeri Bogor telah mengeluarkan suatu Penetapan dan memerintahkan Pegawai pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan sipil Kota Bogor untuk mendaftarkan suatu perkawinan beda agama ( No. 111/Pdt.P/2007 / PN.BGR, , Senen tanggal 19 Nopember 2007) Berikut ini kami akan mengulas penetapan dari Pengadilan Bogor ini, karena kami merasa perlu menghimbau para pihak yang berkepentingan sebab dalam Penetapan Pengadilan Bogor tersebut mengambil alasan dan dasar hukumnya pada bunyi Penjelasan pasal 35 Undang-undang no 23 tahun 2006, yang kami utarakan diatas.

Rabu, 18 Maret 2009

AKTE NIKAH : BUKTI TERKUAT UNTUK PERKAWINAN

Dengan adanya ketentuan pasal 2 ayat 2 Undang-Undang no.1 tahun 1974, maka akte nikah yang dikeluarkan oleh kantor pencatat perkawinan untuk suatu perkawinan merupakan alat bukti yang terkuat bagi pembuktian suatu perkawinan bersangkutan. Bagaimanakah status suatu perkawinan tidak bisa menunjukkan akte nikah nya. Maka khusus bagi perkawinan berdasarkan agama Islam di Indonesia, oleh Kompilasi Hukum Islam Indonesia, diadakan suatu lembaga yang disebut i t s b a t , yang diatur dalam pasal 7 Kompilasi Hukum Islam Indonesia, sesuatu hal yang tidak ada ditemukan dalam Hukum Islam. Jadi lembaga itsbat itu betul-betul akibat dari ketentuan pasal 2 ayat 2 Undang-Undang no.1 1974, setiap perkawinan harus didaftar. Dalam pasal 7 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam berbunyi: Dalam hal perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Pasal 7 ayat 3 membatasi pengajuan itsbat nikah suatu perkawinan, dengan mengatakan bahwa : Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan : a). Adanya perkawinan dalam rangka perceraian. b). Hilangnya Akta nikah. 3).Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan. 4) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang no.1 tahun 1974 dan 5) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut undang-undang no.1 tahun 1974
Jadi boleh dikatakan bahwa tidak semua perkawinan siri, yang sudah pasti tidak punya akta nikah itu boleh dimintakan itsbat nikahnya kepada Pengadilan Agama, tetapi hanya yang memenuhi syarat pasal 7 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam saja.
Sekarang timbul pertanyaan dalam praktek, bagaimanakah penanganannya atau penyelesaiannya perkawinan bawah tangan yang berdasarkan agama non Islam, dapatkah dimintakan akta perkawinannya pada Pengadilan Negeri bersangkutan ? . Terhadap pertanyaan seperti ini, dapat dijawab sebagai berikut : Mengenai perkawinan berdasarkan agama non Islam, seperti kita ketahui, khusus untuk orang Bumiputera (Indonesia)yang beragama Kristen dalam zaman Hindia Belanda dahulu diatur dalam Huwelijk Ordonantie voor Christen Indonesia (HOCI), Staatblad tahun 1993 tahun 1974 dan Staatblad 1933 no 75 jo Staatblad 1939-288, dikatakan bahwa perkawinan Bumiputera Kristen dilakukan oleh pejabat Kantor Catatan Sipil bertempat di Kantor Catatan Sipil. Ketentuan tentang perkawinan orang Indonesia Kristen (Bumiputera Kristen) tersebut sangat ketat pelaksanaannya, pelaksanaan dan sekali gus pencatatannya dilakukan oleh Pejabat Kantor Catatan Sipil, dan bukan dilaksanakan oleh atau didepan pejabat atau pemuka agama Kristen (pendeta atau pastor). Ketentuan tersebut diperkuat dengan ancaman hukuman bagi pemuka agama (pendeta atau pastor) yang mengawinkan calon pengantin secara agama sebelum dilakukan perkawinan oleh atau didepan pejabat Kantor Catatan Sipil (pasal 530 WvS=KUHP), sehingga boleh dikatakan perkawinan orang Indonesia Kristen sejak zaman Hindia Belanda dahulu, dilakukan dan sekali gus dicatat di Kantor Catatan Sipil. Lain halnya perkawinan orang Indonesia yang beragama Islam, boleh dikatakan atau pada umumnya tidak dicatat oleh pejabat negara, kecuali untuk didaerah tertentu yaitu di daerah yang masuk kerajaan di Jawa Tengah (Vorstenlanden). Karena itu tidak heran, boleh dikatakan tidak pernah atau jarang kemungkinan terjadi perkawinan bawah tangan (seperti perkawinan siri pada sementara orang Indonesia Islam), di kalangan masyarakat Kristen Indonesia, sampai hari ini, terutama sebelum berlakunya Undang-undang no.1 tahun 1974. Karena itu tidak mungkin adanya lembaga semacam itsbat (pasal 7 Kompilasi Hukum Islam Indonesia) bagi perkawinan yang berdasarkan agama non Islam terutama Kristen.

Selasa, 17 Maret 2009

PERKAWINAN BAWAH TANGAN ATAU PERKAWINAN S I R I ???
Istilah perkawinan bawah tangan atau kadang juga disamakan dengan perkawinan siri oleh masyarakat awam timbul setelah berlakunya Undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu ketentuan dalam pasal 2 ayat 2 yang mengatakan bahwa setiap perkawinan harus didaftarkan. Sebelum berlakunya Undang-undang tersebut tidak dikenal istilah perkawinan bawah tangan atau perkawinan siri itu, karena memang ketika itu tidak semua daerah di Indonesia mewajibkan setiap perkawinan itu harus didaftarkan. Untuk jelasnya, suatu perkawinan bawah tangan adalah perkawinan yang tidak didaftarkan atau terdaftar menurut undang-undang atau oleh kantor pencatat perkawinan / perceraian. Perkawinan bawah tangan sebetulnya tidak sama dengan perkawinan siri, karena perkawinan bawah tangan lebih luas dari perkawinan siri. Untuk jelasnya dapat diterangkan bahwa perkawinan bawah tangan itu adalah perkawinan yang tidak terdaftar pada kantor atau pejabat pencatat perkawinan di Indonesia yang dapat berupa :
1. Perkawinan siri, yang katanya siri atau itu berarti tersembunyi atau disembunyikan, tetapi ada lagi yang mengatakan bahwa siri itu berasal dari syariah, artinya perkawinan yang bersangkutan telah memenuhi syarat dan hukum syariah atau agama, jadi sudah syah menurut agama. Tentu saja istilah pekawinan siri ini hanya bisa dikaitkan dengan perkawinan secara agama Islam, kalau memang perkawinan telah memenuhi rukun nikah menurut syariah Islam.Sedangkan rukun nikah menurut agama Islam yaitu: a). Adanya seorang laki-laki dan seorang wanita yang menjadi calon pengantin, 2) Adanya wali nikah dari calon penganrtin wanita , c) Adanya dua orang saksi yang menyaksikan perkawinan tersebut, d) Adanya ijab kabul ,yaitu ucapan ijab (penawaran) dari wali nikah pengantin perempuan , dan dijawab dengan kabul (penerimaan) oleh calon pengantin laki-laki. Perkawinan yang tidak didaftarkan seperti perkawinan siri ini, bisa juga terjadi perkawinan yang berdasarkan agama lain selain agama Islam, dan syah menurut agama tersebut, misalnya agama Katolik atau Kristen dan lainnya, tetapi tidak terdaftar di kantor pencatat perkawinan. Misalnya menurut agama Katolik, suatu perkawinan bisa syah bila dilakukan di gereja dimana diberikan sakramen atas perkawinan itu, sakramen atas suatu perkawinan tidak mungkin diberikan selain di gereja, misalnya di rumah, atau di gedung pertemuan atau di ruangan mewah di suatu hotel. Jadi perkawinan siri itu adalah syah menurut agama, bisa dilakukan menurut agama Islam atau juga berdasarkan agama selain Islam, tetapi tidak didaftarkan oleh Kantor Pencatat perkawinan, yaitu bagi perkawinan selain Islam oleh Kantor Catatan Sipil, kalau perkawinan secara Islam harus didaftarkan oleh Kantor/Pegawai Pencatat Nikah pada Kanor Urusan Agama setempat.
2. Perkawinan antara warga negara Indonesia, yang dilakukan di luar negeri , tetapi tidak didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan di Indonesia, sekembalinya mereka di Indonesia, seperti perintah dalam pasal 56 ayat 2 Undang-Undang no. 1 tahun 1974, yaitu dalam waktu satu tahun setelah mereka kembali di Indonesia, perkawinan mereka harus di catat pada Kantor Catatan Sipil (bagi perkawinan secara non Islam), dan Kantor Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama (bagi perkawinan secara Islam), dimana mereka berdomisili. Sama dengan perkawinan siri, dimana perkawinan tersebut syah menurut agama, maka perkawinan antara warga negara Indonesia di luar negeri, adalah syah bila dilakukan sesuai ketentuan formal atau undang-undang yang harus diikuti bila perkawinan dilakukan di negara asing itu. Tetapi untuk warga negara Indonesia yang kawin di luar negeri, disamping harus mengikuti hukum dan undang-undang di negara asing itu, mereka pun harus tidak boleh melanggar undang-undang yang berlaku di Indonesia, misalnya larangan perkawinan beda agama atau untuk berpoligami, bagi yang laki-laki muslim, untuk kawin lagi atau tambah isteri tentu saja harus ada izin dari Pengadilan Agama dari kota / daerah yang bersangkutan berasal (Pasal 56 ayat 1 akhir Undang-Undang no. 1 tahun 1974)
Mengenai perkawinan yang tidak terdaftar sesuai pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan, dalam undang-undang bersangkutan tidak ada ketentuan sanksinya, kalau tidak didaftarkan. Tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ada disebutkan yaitu dalam pasal 5 ayat 1 dikatakan: Agar terjamin perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat; kemudian pasal 6 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa untuk memenuhi ketentuan pasal 5 diatas, setiap pekawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah, Serta pasal 6 ayat 2 mengatakan: bahwa Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah , tidak mempunyai kekuatan hukum. Jadi dalam Kompilasi Hukum Islam tegas dikatakan bahwa perkawinan yang tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum, artinya tidak bisa diberi akibat hukum bila dimintakan dari pejabat atau aparat pemerintah, misalnya untuk berperkara di Pengadilan Agama, misalnya untuk gugat cerai akan ditolak, karena akta nikahnya tidak ada, atau akta kelahiran bagi anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat tersebut.
Kesimpulannya Perkawinan Bawah Tangan itu ada dua macam yaitu : 1 Perkawinan yang syah menurut agama dari calon pengantin, (misalnya :perkawinan siri dalam agama Islam), tetapi tidak didaftarkan oleh Kantor Pencatat Pekawinan. 2. Perkawinan antara warga negara Indonesia yang dilakukan di luar negeri, bila syah menurut undang-undang di negera asing tadi, tetapi tidak didaftarkan dalam waktu setahun, sekembalinya di Indonesia pada Kantor Pencatat Perkawinan dimana mereka berdomisili di Indonesia. Tetapi mohon untuk diperhatikan bagi Kantor Pencatat Perkawinan di Indonesia, untuk memperhatikan perkawinan mereka di luar negeri itu, apakah tidak melanggar ketentuan perundang-undangan di Indonesia, umpama larangan kawin beda agama atau untuk berpoligami, kalau melanggar, maka pendaftaran perkawinan dilakukan di luar negeri itu harus ditolak, artinya status perkawinannya tidak mempunyai kekuatan hukum di Indonesia, sama dengan perkawinan bawah tangan. artinya bila akan bercerai harus pergi ke luar negeri pula.