Senin, 17 November 2008

Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar

PENGERTIAN MENDASAR TENTANG HUKUM



Yang terhormat,
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI
Kordinator Kopertis Wilayah III
Ketua dan Para Anggota Majelis Amanat Badan Hukum Pendidikan Universitas Trisakti
Ketua Senat / Rektor dan Anggota Senat Universitas Trisakti
Pimpinan Universitas , Pimpinan Faklutas, Pimpinan Lembaga dan Jurusan di Lingkup Universitas Trisakti
Rekan Sejawat Para Dosen dan Karyawan serta Mahasiswa Universitas Trisakti
Para Undangan dan Hadirin Sidang Terbuka Senat Universitas Trisakti yang saya muliakan

ASSALAMU’ALAIKUM WA RAHMATULLAHI WA BARAKATUH.

Alhamdulillah, segala puji dan syukur mari kita panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, yang telah memberikan kurnia dan rahmatnya kepada kita semuanya dengan kesehatan dan kebahagiaan, yang pagi ini kita dapat menghadiri suatu upacara Sidang Terbuka dari Senat Universitas Trisakti yang terhormat dan mulia ini. Secara pribadi saya dan keluarga saya, izinkanlah kami juga menyampaikan rasa syukur kami kepada Allah SWT, yang telah menganugerahkan sekaligus amanah bagi saya dalam jenjang karir akademik tertinggi sebagai Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti.

Hadirin Sidang Terbuka Senat Universitas Trisakti yang saya muliakan.
Pada hari ini, merupakan hari yang sangat berkesan dan mulia, bagi pribadi saya yaitu hari pengukuhan saya sebagai Guru Besar pada sebuah Perguruan Timggi yang saya cintai, teringatlah saya akan suatu hari lainnya yang sukar saya lupakan dalam mengawali kehidupan, dan karier selama ini yaitu waktu pertama kali mengikuti kuliah pertama sebagai mahasiswa pada Fakultas Hukum, Ekonomi dan Sosial Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, lebih dari 50 tahun yang lalu, yaitu tepatnya pada tanggal 19 Oktober 1954, yang merupakan kuliah pertama dan bersama dari semua mahasiswa tingkat pertama, ketika itu dikenal istilah mahasiswa tingkat propadeuse, bertempat di Sitihinggil, salah satu tempat yang paling sakral di Kraton Sultan Yogyakarta. Dosen yang memberikan kuliah adalah Prof. Dr.Mr.Drs Notonagoro, dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum. Prof.Notonagoro, adalah terkenal sebagai promotor pemberian gelar Doctor Honoris Causa yang pertama kepada Proklamator Ir.Sukarno pada tahun 1953.
Kuliah Pengantar Ilmu Hukum disingkat dengan PIH, adalah suatu kuliah yang wajib diikuti oleh setiap mahasiswa Fakultas Hukum di Indonesia, bahkan juga oleh mahasiswa dari Fakultas Ekonomi dan Fakultas Sosial Politik, yang ketika tahun 1954 itu masih tergabung berupa Fakultas Hukum, Ekonomi dan Sosial Politik (Fakultas HESP) Mata kuliah PIH. adalah suatu mata kuliah pengantar bagi setiap orang umumnya dan mahasiswa khususnya dalam mempelajari hukum. Dalam hal ini pada Fakultas Hukum kedudukan PIH. dalah sangat penting karena sebagai pengantar bagi mata kuliah lainnya yang bersangkutan dengan hukum. Menurut Notonagoro, PIH itu mempunyai dua sudut atau segi yaitu segi objektif dan segi subjektif. Segi objektif adalah apa yang menjadi objek dari PIH itu, yaitu hukum dalam arti umum, yaitu Constituendum dan Constitutum, atau dengan kata lain, hukum yang yang ideal atau yang dicitakan dan juga hukum positif, baik yang berlaku di Indonesia, dan juga hukum yang berlaku di luar Indonesia. Sedangkan segi atau sudut subjektifnya adalah mengenai manusia atau orang yang akan mempelajari hukum itu sendiri. Dalam hal ini adalah setiap orang pada umumnya dan khususnya para mahasiswa Fakultas Hukum haruslah mempersiapkan diri dan menyesuaikan diri dengan hukum itu sendiri. Selanjutnya Notonagoro mengatakan , bahwa setiap orang yang mempelajari hukum, terutama mahasiswa Fakultas Hukum harus bersedia dan senatiasa untuk mengetahui tentang hukum, menjalankan tentang hukum dan menyelenggarakan peraturan-peraturan hukum itu sendiri. Jika tidak demikian, maka berarti kita tidak akan menjadi ahli hukum akan tetapi kecuali itu kita juga mungkin akan memperkosa hukum. Agar supaya orang dapat sesuai dengan hukum, agar supaya orang mempunyai kesediaan untuk melakukan tugasnya terhadap hukum maka dapat dikatakan ia harus mempunyai tiga sifat terlebih dahulu. Tiga sifat ini ialah:
1 Homo Ethicus 2. Homo Politicus dan 3. Homo Juridicus.


Homo Ethicus : Manusia yang mempunyai sifat Homo Ethicus adalah bahwa sesorang yang ingin menjadi ahli hukum haruslah lebih dahulu mempersiapkan dirinya sebagai manusia bersusila dan selanjutnya senantiasa bertindak sebagai manusia bersusila. Manusia yang mempunyai sifat bersusila ialah orang atau manusia yang berlaku dan bertindak menyesuaikan dirinya atau dengan kata lain senantiasa mematuhi dan melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang kesusilaan. Notonagoro memilih sifat berkesusilaan dengan anggapan bahwa orang yang bersusila akan mematuhi tidak saja ketentuan tentang kesusilaan saja ( yang merupakan salah satu bentuk hukum tidak tertulis) tetapi juga sudah pasti akan mematuhi semua ketentuan hukum, baik yang hukum yang tidak tertulis tetapi juga hukum yang tertulis. Lain halnya orang yang bertekad atau yang ingin disebut sebagai orang mempunyai sifat mematuhi hukum (terutama hukum tertulis saja), belum tentu akan menjadi manusia yang bersusila, seperti yang dapat kita banyak jumpai dalam masyarakat kita sekarang ini. Inilah yang pertama dan sangat penting sekali menurut Notonagoro, seorang ahli hukum haruslah sejak mula pertama kali mempelajari hukum, harus sudah mempersiapkan diri atau bertekad untuk mematuhi senantiasa selama hidupnya semua peraturan hukum, tertulis ataupun tidak tertulis. Kalau tidak ada kesediaan dari para calon ahli hukum tersebut akan mungkin menjadi manusia yang ahli dalam memperkosa hukum , karena telah mengetahui dimana kelemahan atau lobang-lobang hukum itu sehingga dapat dilanggar dan diperkosa.
Beberapa bulan yang lalu, Prof Dr. Satjipto Rahardjo, SH, mengutip ucapan Gerry Spence, seorang advokat senior Amerika Serikat yang mengatakan : “Sebelum menjadi ahli hukum professional, jadilah manusia yang berbudi luhur (evolved person) lebih dahulu” Kalau tidak, para ahli hukum hanya akan lebih menjadi monster daripada malaikat penolong orang susah. (Satjipto Rahardjo, Harian Kompas 23 Mai 2007, halaman 6)
Demikianlah apa yang di pesankan oleh Notonagoro, lebih 50 tahun yang lalu, oleh Prof.Satjipto Rahardjo sekarang masih dirasakan penting bahkan perlu ditumbuhkan dan dikembangkan pada setiap ahli hukum, yaitu sebagai manusia yang memegang teguh nilai-nilai kesusilaan, yang berarti akan mematuhi aturan hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis.

Homo Politicus : Manusia yang mempunyai sifat Homo Politicus, yaitu menusia yang mempunyai kecakapan politik, tetapi bukan harus menjadi anggota partai politik. Kecakapan berpolitik yaitu kemampuan untuk senantiasa mengikuti perkembangan diluar diri sendiri. Yang peka atau sensitif dengan keadaan di luar diri sendiri., yang mengikuti semua hal yang mengenai kehidupan manusia dan masyarakat, seperti mengikuti dan mengetahui setiap aspirasi dan kemauan dari masyarakat, mengikuti perkembangan semua aspek kehidupan masyarakat, seperti teknologi, ekonomi, sosial, politik, militer dan dunia internasional dst. Tidak bisa seorang ahli hukum itu bersikap masa bodoh dan tertinggal dengan perkembangan yang terjadi di sekitar dirinya.

Homo Juridicus : Manusia yang mempunyai sifat Homo Yuridicus, menurut Notonagoro, adalah mempunyai sifat ilmiah (wetenschappelijk). Artinya akal dari seorang ahli hukum itu harus terlatih secara aturan-aturan yang diselenggarakan dalam ilmu logika dan filsafat ilmu pengetahun terutama ilmu hukum. Disamping itu seorang ahli hukum harus berusaha melatih diri menguasai semua pengertian tentang hukum, baik hukum positif atau hukum ideal. Dalam hal ini harus peka terhadap perkembangan hukum, mana yang sudah perlu diperbarui atau dicabut atau diganti. Jadi jangan hanya terikat kepada jurusan atau bahagian yang dipilih pada Fakultas Hukum, misalnya seorang mahasiswa Jurusan Internasional, bukan berarti dia tidak perlu mengetahui tentang Hukum Perkawinan, karena tidak termasuk dalam kurikulum Jurusan Internasional, tetapi haruslah mengetahui semua hukum positif atau hukum ideal tadi.

Demikianlah tiga buah sifat yag harus dimilki oleh setiap ahli hukum. Di samping itu Notonagoro menambahkan ada satu hal lagi yang perlu dimiliki oleh setiap ahli hukum yaitu kesadaran bahwa ia adalah sebagai induvidu atau pribadi dan sekali gus sebagai anggota masyarakat. Kehidupan sebagai pribadi atau individu itu tidaklah bisa dipisahkan dari kehidupan sebagai anggota masyarakat. Kepentingan dari dua hal tersebut adalah sangat berbeda bahkan mungkin bertentangan satu sama lain, dan kepada setiap ahli hukum diharapkan dapat mengelola dua kepentingan itu sehingga selaras atau harmoni.


Hadirin Sidang Terbuka Senat Universitas Trisakti yang mulia.

Hubungan antara Sistem Nilai dan Hukum.
Boleh dikatakan bahwa masyarakat kita sekarang cenderung memandang terhadap hukum sebagai hal sesuatu yang tidak perlu diperhatikan atau dihormati bahkan ada yang yang secara ekstrim mengatakan bahwa hukum sudah tidak diperlukan lagi. Sebabnya tidak lain karena hukum sudah sering tidak dapat berfungsi lagi, apalagi kalau orang memandang hukum itu secara konkretisasi sebagai wujudnya berupa pengadilan, kejaksaan, polisi, aparat pemerintah yang sekarang selalu disorot sering menyalahgunakan hukum.
Tetapi marilah kita sebentar merenung apakah hakikat dari hukum itu, dan untuk itu marilah kita lebih dahulu membicarakan nilai (values) atau sistem nilai, karena antara nilai dan hukum sangat erat sekali hubungannya, bahkan ada yang mengatakan bahwa sebelum orang menemukan atau menciptakan hukum orang akan selalu bergumul dengan nilai atau sistem nilai
Berbeda dengan makhluk Tuhan Yang Maha Esa lainnya, seperti, batu, tumbuh-tumbuhan, atau hewan; manusia itu selalu bergerak dengan mobilitas yang tinggi. Dalam bergerak atau tidak bergerak itu, manusia selalu mempunyai alasan untuk bergerak atau tidak bergerak. Pada hewan atau binatang, bergeraknya tidak mempunyai alasan atau motivasi, tetapi sekedar berdasarkan insting atau naluri. Pada manusia membutuhkan suatu alasan atau motivasi yang baik atau tepat untuk setiap gerakan yang mereka lakukan atau tidak bergerak yang mereka lakukan. Di sinilah setiap manusia untuk bergerak atau tidak bergerak melakukan pe- n i l a i – an, apakah alasan untuk bergerak atau tidak itu mempunyai alasan yang tepat. Alasan yang dipergunakan untuk bergerak atau tidak itulah yang disebut nilai atau sistem nilai (values). Tentu suatu nilai bukan untuk dipatuhi sebagai suatu hukum, tetapi diusahakan untuk diwujudkan atau dicapai dengan bergerak atau tidak bergerak oleh setiap manusia tadi. Memang setiap manusia selalu bergumul dengan nilai atau sistem nilai sepanjang hidupnya, selama ia melakukan gerakan atau tidak. Misalnya sejak bangun pagi, sudah melakukan penilaian, apakah terlambat bangun dari pukul 06.00 pagi. Kalau bangun sebelum jam 06.00 adalah mempunyai nilai yang baik, sehingga setiap pagi manusia itu selalu berusaha untuk bangun sebelum jam 06.00. Begitu selanjutnya pergi mandi, manusia itu ingin mencapai nilai atau mewujudkan nilai kesegaran setelah mandi, jadi nilai kesegaran dan kebersihan menjadi alasan untuk pergi mandi. Begitu selanjutnya berpakaian yang bersih, sarapan yang enak, semua perbuatan manusia itu sampai kembali tidur lagi selalu bergerak atau tidak bergerak mempunyai alasan untuk mewujudkan nilai yang baik, berguna, berpaedah dan sebagainya bagi dirinya. Jadi manusia itu bergerak atau tidak bergerak berdasarkan nilai yang akan diperoleh, berbeda dengan binatang, bergerak atau tidak bergeraknya bukan berdasarkan nilai tetapi berdasarkan insting atau naluri. Sebagai contoh memang manusia atau binatang ketika bergerak untuk makan, mungkin kelihatannya sama-sama untuk memperoleh kenyang, tetapi ada perbedaannya dengan manusia. Pada manusia untuk bergerak pergi makan bukan berdasarkan insting tetapi untuk mewujudkan nilai yang baik yaitu kenyang atau sehat. Tetapi pada waktu yang lain, manusia itu tidak akan bergerak untuk makan yang kelihatannya sama dengan binatang, yang pada binatang berdasarkan naluri, tetapi pada suatu saat manusia itu tidak mau pergi makan karena tidak ingin mencapai atau mewujudkan nilai kenyang, tetapi yang lebih baik dari sekedar kenyang pada waktu itu, bahkan pada manusia yang menganut suatu agama mungkin nilai yang akan diwujudkan dengan tidak makan itu, adalah nilai yang lebih baik dan lebih tinggi dari kenyang atau sehat, tetapi adalah nilai keredaan dari Tuhan Yang Maha Esa (Love of God), misalnya puasa. Itulah sekedar yang perbedaan yang hakiki antara manusia dan binatang dalam bergerak atau tidak bergerak, yaitu bagi manusia harus mempunyai motivasi atau alasan yang yang akan diwujudkan yaitu berupa nilai (values).
Mengenai nilai (values) yang akan dicapai atau diwujudkan itu, dapat dibedakan dua macam nilai yautu pertama : nilai yang menyangkut kehidupan pribadi dan kedua : nilai yang menyangkut kehidupan bermasyarakat. Hal itu sesuai dengan hakikat dari manusia itu adalah dia sebagai manusia pribadi dan sekali gus juga sebagai manusia bermasyakat, artinya manusia itu tidak bisa hidup sendirian (zoon politicon).
Dalam melakukan penilaian sesuatu, atau menilai sesuatu yang tentu saja dengan membandingkan dengan hal yang lain yang terkait, setiap manusia itu mengunakan segala kelengkapan yang terdapat atau ia miliki dalam dirinya (Prof. Dardji Darmodihardjo, SH Pengertian tentang nilai, moral, etika dan pandangan hidup. Makalah yang tidak dipublikasikan, 1995) yaitu :
1. pancaindra, yang dimilikinya, menghasilkan nilai nikmat atau nilai kesengsaraan
2. rasio, yang mnghasilkan nilai benar atau nilai salah
3. rasa etis yang menghasilkan nilai baik dan buruk atau adil dan tidak adil
4. rasa estetis, yang menghasilkan nilai indah dan tidak indah.
5. iman yang menghasilkan nilai suci dan tidak suci atau haram dan halal.
Nilai yang menyangkut hidup pribadi, seperti nilai baik, bangun sebelum jam enam pagi atau nilai kesegaran yang akan dicapai setelah mandi, mencapai atau mewujudkannya cukup dengan berbuat atau tidak berbuat dari masing-masing pribadi saja. Sedangkan nilai yang menyangkut kehidupan bermasyarakat, cara mencapai dan mewujudkannya, seperti kenyamanan, ketenteraman, kebahagiaan bersama., suasana tidak adanya pencurian, perampokan, pemerkosaan, atau pembunuhan didalam suatu masyarakat, adanya demokrasi, terpeliharanya hak-hak asasi manusia, kebahagian dan kemakmuran tidak bisa dicapai dengan hanya berbuat atau tidak berbuat dari masing-masing anggota masyarakat itu, seperti tidak akan membunuh atau mencuri, tidak akan korupsi dsbnya, tetapi perlu adanya lagi suatu sarana lain dalam mewujudkan nilai (values) yang menyangkut hidup bermasyarakat itu, yaitu apa yang kita kenal sekarang ini dengan aturan, kaidah, norma atau hukum. Inilah yang merupakan perbedaan pokok antara nilai dalam kehidupan pribadi dengan nilai yang menyangkut hidup bermasyarakat. Dengan kata lain, bisa juga disimpulkan bahwa aturan, atau kaidah atau hukum itu hanya ada terdapat dan dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat, dan tidak dibutuhkan suatu aturan atau hukum dalam kehidupan pribadi.
Dengan demikian dapat dilanjutkan bahwa antara nilai yang akan dicapai atau diwujudkan dalam masyarakat dengan hukum dalam masyarakat tidak bisa dipisahkan bahkan timbulnya atau lahirnya adalah bersamaan. Seperti halnya, kehidupan pribadi dan kehidupan bermasyarakat dalam diri manusia tidak bisa dipisahkan bahkan selalu timbul dan adanya bersamaan.
Dengan pembicaraan hal terakhir ini, kita telah melangkah kepada materi penting yaitu yaitu pertanyaan besar : Apakah tujuan hukum itu ?., atau untuk apa hukum itu timbul atau diadakan ?
Pertanyaan inilah yang menimbulkan kerancuan dalam kehidupan bermasyarakat dewasa ini, karena terkait dengan pertanyaan untuk apa hukum diadakan apalagi dalam masyarakat sekarang ini secara awam hukum itu dikongkretkan sebagai polisi, jaksa , aparatur pemerintah, pengadilan dsbnya, yang seakan-akan hukum itu diadakan untuk menghukum atau menangkap atau memenjarakan atau membatasasi kebebasan seseorang. Ditambah lagi dengan cara bekerja para penegak hukum yang tidak

professional, sehingga menimbulkan kekecewaan anggota masyarakat kepada hukum itu sendiri, sehingga memandang hukum sebagai hal yang buruk karena menyusahkan orang. Tetapi kalau kita lihat kepada tujuan hukum itu sendiri diadakan untuk mewujudkan dan mencapai nilai-nilai yang baik, berpaedah, berguna bagi kehidupan bermasyarakat. Tujuan hukum itu adalah bagaimana bisa terwujud nilai yang baik bagi kehidupan masyarakat. Menurut Notonagoro, tujuan hukum adalah ada empat, yaitu perdamaian, keadilan, kesejahteraan dan kebahagian bersama, dan ini menjadi tujuan hukum dimana saja di dunia ini. Inilah yang disebutkan oleh Notonagoro sebagai Tujuan Hukum Umum. . Pada setiap rumusan hukum baik tertulis ataupun tidak tertulis, dibidang apa saja, bidang hukum pidana , hukum perdata , hukum tata negara,hukum ekonomi, hukum politik, bahkan dalam hukum perang sekalipun ada tujuan hukumnya, yaitu menciptakan atau mewujudkan nilai yang baik dalam hidup bermasyarakat. Karena nilai-nilai yang akan diwujudkan dalam hidup bermasyarakat itu berbeda-beda sesuai dengan kondisi masyarakat itu, maka di samping adanyan Tujuan Hukum Umum yang disebutkan tadi yang ingin diwujudkan oleh semua bangsa dan masyarakat didunia ini, ada lagi nilai-nilai yang khusus, maka Notonagoro, mengatakan bahwa bagi bangsa Indonesia, tujuan hukum itu ada lagi yang disebut Tujuan Hukum Khusus bagi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila, di samping Tujuan Hukum Umum tadi. Misalnya mewujudkan nilai-nilai yang mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa dan nilai Persatuan Indonesia, tidak mungkin menjadi Tujuan Hukum bangsa lain. Dengan menyadari dan memahami apa sebenarnya tujuan hukum itu, orang akan merasakan betul bahwa hukum itu perlu adanya, dan orang akan berusaha untuk hidup bersama hukum itu dengan baik. Karena hukum itu diperlukan di semua aspek kehidupan manusia, baik dalam kehidupan berkeluarga, politik , teknik, kedokteran , ekonomi, sosial, militer , internasional bahkan juga waktu perang sekali pun ada hukumnya, yang dikenal sekarang dengan hukum humaniter. Bahkan tidaklah bekelebihan, saya disini berkata bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa adanya aturan atau hukum tertulis, ataupun tidak tertulis, sebagaimana manusia tidak bisa hidup tanpa makan. Hal itu berdasarkan pada hakikat manusia tadi sebagai manusia pribadi dan sekaligus sebagai manusia bermasyarakat.
Dengan demikian kita menyadari betapa pentingnya, nilai atau sistem nilai (values) itu bagi kehidupan manusa baik pribadi terutama kehidupan bermasyarakat, bahkan masalah nilai ini telah menjadi obyek pokok pengkajian dalam salah satu bidang ilmu filsafat yang disebut Axiologi. Karena justru setiap manusia selalu dan setiap hari bergumul dengan nilai dan penilaian itu, karena untuk menjadi alasan atau pendorong untuk setiap gerakan atau tidak bergeraknya manusia itu.
Di dalam Axiologi tadi ada dikemukakan nilai apakah yang hakiki yang menjadi tujuan manusia (What is instrisically good), atau nilai apa yang paling tinggi yang ingin dicapai oleh manusia itu, maka pelbagai aliran adalam ilmu filsafat menjawabnya berbeda. Misalnya kaum Hedonis akan menjawab bahwa nilai hakiki itu adalah kenikmatan atau kesenangan (pleasure), kaum Pragmatis mengatakan bahwa nilai hakiki itu adalah kepuasan (satisfaction), kemajuan (growth) atau keselarasan atau keadilan (adjustmen), kaum Kantian akan menjawabnya dengan kebajikan ( a good will), kaum Humanis akan menjawabnya denga keharmonian (harmonious), kesadaran (sel-realization) sedangkan umat beragama akan menjawab bahwa nilai hakiki itu adalah keridhaan atau kecintaan kepada Allah ( the love of God) (Rusdi Malik: Manusia dan sistem nilai serta hubungannya dengan hukum, Hasil Penelitian, 2001)
Notonagoro mengatakan bahwa Pancasila merupakan Tujuan Hukum Khusus bagi bangsa Indonesia, tidak lain adalah nilai yang akan diwujudkan oleh bangsa Indonesia dalam masyarakat dan bernegara, yang merupakan nilai luhur yang paling hakiki bagi bangsa Indonesia, walaupun beliau tidak menyebutkan sebagai suatu nilai, atau sistem nilai. Karena merupakan tujuan hukum khusus bagi rakyat dan bangsa Indonesia, maka menurut Notonagoro, Pancasila dicantumkan dalam norma atau hukum dasar Negara yaitu sebagai Staatsfundamentalnorm dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, (Rusdi Malik, Ibid ).

Hadirin Sidang Terbuka Senat Universitas Trisakti yang mulia

Kebebasan beragama atau Kemerdekaan memeluk agama
Sebagai penjabaran dari nilai yang akan diwujudkan dalam Negara Indonesia itu, yang pertama dalam Pancasila disebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang kemudian dicantumkan dalam pasal 29 Undang-Undang Dasar ayat 1: Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa dan ayat 2 :Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Nilai yang tercantum dalam pasal 29 ayat 1 dan 2 inilah yang akan diwujudkan dalam Negara Indonesia. Mengenai ini dalam masyarakat Indonesia selama ini terdapat kerancuan , karena sejak dari pimpinan Negara di pusat atau di daerah dan rakyat banyak menganggap yang dijamin di Indonesia adalah kebebasan beragama. Sedangkan jelas dalam ayat 2 pasal 29 UUD, mengatakan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing; - dan Negara tidak atau bukan menjamin kebebasan beragama. Sedangkan pengertian kemerdekaan memeluk agama dengan kebebasan beragama adalah sangat berbeda. Sesorang yang memeluk agama atau memilih agama yang akan dianutnya berdasarkan kemerdekaan untuk memeluk agama, mempunyai arti jauh mendalam dibandingkan dengan seseorang yang memeluk agama atau memilih agama yang akan dianutnya berdasarkan kebebasan beragama. (Rusdi Malik, Majalah Mimbar B.P.7 No. 63 Th XI 1993/1994 : Apakah yang dimaksudkan dengan Kebebasan beragama di Indonesia)
Seseorang yang memeluk agama berdasarkan kemerdekaan untuk memilih agama, akan senantiasa mematuhi segala perintah dan larangan dari agama yang dipeluknya atau yang dipilihnya. Sedangkan bagi seseorang yang memeluk agama yang dianutnya berdasarkan kebebasan beragama yang dianutnya dan dipilihnya, maka dia akan bebas untuk mematuhi atau tidak mematuhi perintah dan larangan dari agama yang dianutnya itu. Bisa dibandingkan dengan seseorang yang menjadi warga negara dari suatu negara, yang mungkin dia pilih akan tunduk pada hukum dan undang-undang dari negara yang dipilih tadi. Lain halnya pada masyarakat yang bebas, maka setiap anggotanya akan bebas untuk mematuhi atau tidak mematuhi hukum dari masyarakat yang bebas yang biasa disebut masyarakat yang belum beradab atau biadab. Bahkan kebebasan beragama mempunyai tendensi kearah orang memilih untuk tidak beragama. Sebab kemerdekaan beragama atau kemerdekaan untuk memeluk agama mempunyai konotasi pada keyakinan , dan memang soal agama adalah masalah keyakinan, sedang kebebasan beragama konotasinya kepada kesenangan. Seseorang yang berasa senang dengan suatu agama, karena agama tersebut membolehkan ber- poligami, tetapi tidak mau melaksanakan perintah agama bersangkutan seperti puasa, karena tidak senang atau tidak suka, maka berdasarkan kebebasan beragama akan meninggalkan agama tersebut, bahkan mungkin tidak mau beragama sama sekali, karena beragama merasa terikat dan tidak bebas.Lain halnya seseorang yang memeluk agama berdasarkan kemerdekaan memeluk agama, bahwa ia yakin dengan agama yang di peluknya itu dia akan menemukan kebahagiaan dunia dan akhirat,walaupun perintah-perintah dari agama yang dianut itu sangat berat, sangat membatasi kesenangan dalam kehidupan duniawi. Dalam bahasa Inggeris kata free atau freedom yang kita artikan sebagai merdeka atau kemerdekaan, selalu dikaitkan dengan manusia, sedangkan wild atau the wild yang kita artikan bebas (liar) atau kebebasan hanya dikaitkan dengan hewan atau bukan manusia.

Hadirin Sidang Terbuka Senat Universitas Trisakti yang mulia.

Agama dalam Hukum Perkawinan di Indonesia
Bentuk lain dari nilai luhur yang dianut oleh rakyat dan masyarakat Indonesia sejak dulu, adalah kelahiran, kematian dan jodoh ( perkawinan) adalah di tangan Tuhan. Tetapi nilai yang luhur ini sejak Indonesia dijajah oleh Belanda, tersingkirkan tidak menjadi tujuan hukum di zaman penjajahan itu, tertama mengenai perkawinan. Lembaga perkawinan disterilkan dari unsur agama, terbukti dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang dibawa ke Indonesia, ketentuan tentang Hukum Perkawinan dipisahkan dari nuansa agama, yang mengatakan bahwa perkawinan hanya dilihat dari segi hubungan perdata saja ( Pasal 26 BW : De wet beschouwt het huwelijk alleen in deszelfs burgerlijke betrekkingen). Rakyat Indonesia yang sebahagian besar beragama Islam tidak bisa menikmati hukum agamanya dalam hukum perkawinan di Indonesia, tetapi yang diterapkan adalah hukum adat yang sekedarnya menerima dan memodifikasi hukum agama Islam tentang perkawinan.
Undang-Undang no. 1 1974 berhasil mengembalikan nilai-nilai yang mengandung unsur agama kedalam hukum perkawinan di Indonesia setelah mengalami pembahasan yang rumit dan disertai dengan demonstrasi para pelajar dan mahasiswa ketika dalam pembahasan di DPR dalam bulan-bulan akhir tahun 1973, karena pada mulanya pemerintah menyodorkan suatu Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang sama sekali jauh dari menerapkan nilai-nilai agama dalam perkawinan dari agama-agama yang ada di Indonesia, bahkan sebahagian besar isi Rancangan Undang-Undang Perkawinan tersebut merupakan salinan dari ketentuan-ketentuan dalam Burgerlijk Wetboek dan perundang-undangan lainnya dari zaman penjajahan Belanda.
Dengan ketentuan dalam Undang-Undang no. 1 tahun 1974, boleh dikatakan bahwa Indonesia, walaupun bukan negara agama atau teokrasi (theocracy), sangat memperhatikan dan berusaha untuk melaksanakan dan mewujudkan nilai-nilai agama dalam hukum perkawinan dan hukun kekeluargaan. Berbeda dengan kecenderungan beberapa negara maju di dunia yang berusaha meninggalkan perintah dan larangan agama yang dianut oleh sebahagian besar rakyatnya dalam hukum perkawinan dan kekeluargaan mereka. Misalnya di negara Italia, dimana rakyatnya hampir 100 % beragama Katolik, sejak tahun 1972, Undang-Undang yang berlaku disana membolehkan rakyatnya untuk melakukan perceraian atas perkawinan mereka, sedangkan ketentuan dalam agama Katolik, suatu perkawinan yang telah diberikan sacramen oleh gereja, tidak boleh diputuskan atau diceraikan oleh siapapun juga.
” In European countries, such as Italy, French, Ireland, Spain and Portuguese, and also in the American continents, such as United States of America , Mexico, Canada and Argentina, divorce is a common thing and can be given by the court even thouh the majority are Catholics. The Catholic Church has taken defensive way in handling the situation, especially in relating to prohibition of divorce. They considered that divorce is only for legal separation, so it means that the Catholic Church would not approve the marriage of a couple of two would like remarry after their divorce.
Every Catholic Church in the world, epecially in Vatican, has difficulty facing the secularization in the regulation of marriage . There was an International Convention of Divorce, namely, the Convention on Recognition of Divorce and Legal Separation, Den Haag 1970. In the case of Indonesia, it can be stated that Indonsia was opposed to the secularization of marriage which happened since the middle of the 20 th century. In other word, since the Law of Number 1 of 1974 on Marriage was enacted in Indonesia, the rule of the law of religion was the main principal in marriage matters. It was clearly stated that before 1974, the religious law was set aside from the marriage law where Catholics were allowed to get divorce. However, to day the marriage law in Indonesia is dominated by the rule of the religion, for example,marriage is prohibited for a couple who has a different religion. (Rusdi Malik : Legimition of Divorce According to the Religious Law of Indonesia, ASIAN PROFILE , Vol.34 No.3 June 2006)

Masyarakat dan pemerintah Indonesia yang tetap ingin memegang teguh dasar negara Pancasila yang berarti ingin tetap mempertahankan dan menegakkan ajaran-ajaran agama dari semua agama di Indonesia. Karena arus sekularisme atau pandangkalan ajaran – ajaran agama yang di Indonesia sangat terasa pada akhir-akhir ini. Misalnya larangan perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang berbeda agama, yang dipegang teguh oleh semua agama yang ada di Indonesia, dan dikuatkan oleh Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 8 huruf f, sering dilanggar atau mereka yang ingin melanggarnya pergi ke luar negeri. Bahkan tahun yang lalu pernah terjadi perkawinan yang dilakukan antara mereka sejenis dari kaum gay, walaupun tidak disahkan oleh pemerintah Indonesia.
Ancaman sekularisme atas ajaran-ajaran agama di Indonesia, sekarang tidak saja dilakukan oleh mereka yang berasal dari masyarakat awam, yang ingin melangsungkan perkawinan bersangkutan saja , tetapi juga oleh mereka yang termasuk kaum intelektual dan akademisi yang harusnya bertanggung jawab atas perkembangan dan tegaknya ajaran-ajaran agama itu sendiri.
Pada medio 2004 yang lalu, pernah muncul suatu yang disebut Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam , di Jakarta, yang tidak lain adalah suatu usul perubahan atas Kompilasi Hukum Islam yang tercantum dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 tahun 1991. Kompilasi Hukum Islam ini berisikan ketentuan agama Islam yang telah dipegang oleh Umat Islam di Indonesia. Dengan demikian maka resmi ketentuan agama Islam mengenai perkawinan, wakaf, dan waris diperhatikan dalam Peradilan Agama Islam di Indonesia. “Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam” tersebut dihasilkan oleh suatu Tim Perumus Pembaruan dari Departemen Agama Republik Indonesia. Hampir semua isi usul dari Tim Pembaruan tersebut sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, antara lain : ( Majalah Tempo, Edisi 11-17 Oktober 2004) :
1. Membolehkan perkawinan beda agama.
2. Perkawinan kontrak (mut’ah) dibolehkan, yaitu kawin hanya untuk waktu sementara.
3. Perkawinan poligami dilarang sama sekali.
4. Masa tunggu idah, untuk bisa kawin lagi, juga berlaku untuk laki-laki.
5. Perkawinan bukanlah suatu perintah agama, atau lembaga agama, tetapi merupakan suatu lembaga sosial biasa , seperti perjanjian biasa antara pihak-pihak yang berjanji.
Setelah mendapat reaksi yang sangat keras dan luas dari masyarakat Islam di Indonesia, pada akhir tahun 2004, ”Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam” dicabut dan tidak diteruskan.
Dibandingkan dengan negara-negara maju, yang telah meninggalkan nilai agama dalam hukum perkawinan, maka Indonesia sebaliknya berusaha tetap mempertahankan nilai-nilai agama dalam hukum perkawinan, karena Negara Indonesia adalah Negara Pancasila, walaupun bukan Negara teokrasi (theocracy)

Hadirin Sidang Terbuka Senat Univeersitas Trisakti yang mulia.

Istilah norma hukum atau kaidah hukum :
Setelah kita membicarakan tentang nilai atau sistem nilai dalam hubungannya dengan hukum, yang kita simpulkan sangat erat sekali hubungannya, marilah membicarakan tentang istilah yang dipakai dalam masyarakat mengenai hukum di Indonesia. Didalam bukunya : Pengantar Ilmu Hukum, Buku I, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja dan Dr. B. Arief Sidharta mengatakan dalam masyarakat terdapat pelbagai macam kaidah, yaitu kaidah hukum, dan kaidah-kaidah sosial lainnya, misalnya : kaidah agama, kebiasaan, moral positif dan kesopanan. Kaidah sosial lainnya tersebut, dikatakan bukan hukum. (halaman, 21, 22). Dengan demikian kaidah hukum adalah beda dengan kaidah sosial lainnya yang ada dalam masyarakat. Begitu pula Sdr.Drs. C.S.T. Kansil, SH , dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum (halaman 55), mengatakan bahwa didalam masyarakat dapat dijumpai pelbagai macam norma, yaitu: norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan dan norma hukum .Jadi Kansil, SH bependapat sama, yaitu mengatakan bahwa didalam masyarakat ada pelbagai kaidah atau norma , dan membedakan antara kaidah hukum atau norma hukum dengan kaidah sosial atau norma soasial lainnya, hanya istilah yang berbeda yaitu menggunakan kata kaidah dan yang lainnya menggunakan kata norma. Dari dua buku itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa kaidah sosial atau norma sosial seperti kebiasaan, adat istiadat, kesusilaan bukanlah merupakan hukum. Tetapi ketika membicarakan tentang Sumber Hukum, kedua buku tersebut sama-sama mengatakan bahwa kaidah atau norma sosial lainnya itu juga merupakan sumber hukum formil, atau dengan kata lain kaidah atau norma sosial lain itu juga merupakan hukum, disamping kaidah hukum atau norma hukum sebagai salah satu dari sumber hukum formil.
Dalam kaitan penggunaan istilah kaidah hukum atau norma hukum dalam kedua buku tersebut, dalam masyarakat awam dan penegak hukum selalu menggunakan istilah hukum, umpama slogan Mari kita tegakkan hukum, atau Sekarang kita memasuki era Supermasi Hukum. , akan timbul pertanyaan apakah pengertian hukum yang ada dalam masyarakat itu sama dengan apa yang dimaksud dari kedua buku tersebut; kalau demikian, hukum yang akan ditegakkan dalam masyarakat itu tidak termasuk kaidah sosial, atau norma sosial lain, misalnya kaidah atau norma susila, kebiasaan, adat, sopan santun, agama dsbnya. Tentu tidaklah demikian yang kita kehendaki pada umumnya atau pemerintah. Memang tidak ada undang-undang yang menentukan penggunaan istilah yang demikian, karena memang tidaklah perlu ditentukan dengan peraturan perundang-undangan. Tetapi perlu diambil langkah dalam masyarakat sendiri terutama oleh masyarakat hukum, pendidikan tinggi hukum dan penegak hukum untuk menghindari kerancuan pemahaman dan pemakaian istilah. Disini tidak salah saya menganjurkan untuk menggunakan istilah Hukum Tertulis dan Hukum Tidak Tertulis. Karena pernah disampaikan oleh Prof.Dr.Mr.Supomo dalam sidang-sidang BPUPKI, tahun 1945 dahulu, yang menerjemahkan recht dengan istilah hukum, yang dapat berupa hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, sedang wet , diterjemahkan dengan undang-undang sebagai salah satu bentuk dari hukum tertulis. Dengan sikap dari Supomo itu dapat ditarik paham bahwa apa yang dimaksudkan kaidah atau norma sosial lainnya dalam masyarakat selain kaidah atau norma hukum, menurut kedua buku di atas, kita masukkan dalam hukum tidak tertulis, seperti kesusilaan, sopan santun, adat, kebiasaan dsbnya. Paham yang demikian diperkuat dengan apa yang dimaksudkan dalam kedua buku tersebut dengan kaidah hukum atau norma hukum adalah semua kaidah atau norma yang dibikin oleh pemerintah atau penguasa yang berbentuk tertulis, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, peraturan daerah dsbnya. Demikianlah sebagai salah satu langkah kecil untuk menghilangkan atau menghidari kerancuan dalam memahami hukum di Indonesia Langkah kecil itu, selanjutnya bisa juga diikuti nantinya dengan menggunakan istilah, kaidah (dari bahasa Arab), norma (dari bahasa Belanda, norm), atau aturan (bahasa Indonesia ) hanya sebagai sinonim atau padanan dari kata hukum.

Hadirin Sidang Terbuka Senat Universitas Trisakti yang mulia.

Pengertian tentang Hukum Tertulis dan Hukum tidak Tertulis
Kembali pada istilah yang ada dalam atau digunakan dalam buku karangan Mochtar Kusumaatmadja dan Kansil, tersebut di atas yaitu dapat kita simpulkan bahwa kata kaidah hukum dan norma hukum, adalah semua aturan yang dibikin atau dibuat oleh instansi yang mempunyai kewenangan (otoritas) baik berupa instansi pemerintah atau penguasa dan instansi non pemerintah berupa aturan tertulis. Atau dengan kata lain kaidah hukum atau norma hukum itu adalah semua keputusan yang bersifat tertulis dari instansi yang berwenang (otoritas), baik berupa pemerintah atau penguasa dan non pemerintah. Inilah yang dimaksudkan dengan pengertian undang-undang dalam arti kata materiil menurut Buys (begrip wet in materiele zin volgens Buys) yang dikutip oleh E. Utrecht (Pengantar dalam Hukum Indonesia, 1962, halaman 151). Tata urutan dari peraturan perundang-undangan dalam arti materiel ini oleh Tap MPR no. III tahun 2000, telah ditentukan dalam pasal 2 nya, yaitu paling tinggi :Undang-Undang Dasar dan paling rendah :Peraturan Daerah, yaitu yag berasal atau dibikin oleh instansi pemeritah atau penguasa. Tetapi hal itu bisa juga ditambah dengan semua keputusan tertulis berupa surat keputusan Presiden, Menteri ,Gubernur, Bupati, Camat atau Lurah, bahkan juga surat edaran atau pengumunan tertulis dari Ketua RT atau ketua RW setempat. Selain itu yang termasuk kaidah hukum atau norma hukum itu atau peraturan perundang-undangan dalam arti materiil tadi juga semua keputusan tertulis dari instansi yang berwenang (otoritas) yang bukan pemerintah atau penguasa, misalnya Surat Keputusan dari Direktur Utama Peseroan Terbatas, atau Surat Keputusan dari Ketua Umum Dewan Pengurus Partai Politik atau Organisasi Masyarakat, Rektor Universitas, Dekan Fakultas, bahkan juga ketua Badan Eksekutif Mahasiswa. Yang semua itu berlaku untuk masyarakat tertentu yang bersangkutan. Peraturan perundang-undangan yang demikianlah yang saya simpulkan sebagai hukum tertulis yang ada dalam masyarakat, sesuai ruang lingkup berlakunya.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan kaidah sosial lainnya selain dari kaidah hukum, atau norma sosial lainnya selain norma hukum menurut kedua buku di atas, dapat disimpulkan atau dinamakan sebagai hukum tidak tertulis, misalnya kaidah agama, kaidah hukum adat, kaidah kesopanan atau sopan santun, kaidah moral positif, kebiasaan (Mochtar Kusumaatmadja, ibid halaman 30, 31), atau norma agama, norma kebiasaan, atau norma susila atau norma sopan santun. ( Kansil, ibid halaman 55 ). Mengenai kaidah agama atau norma agama, yang sekarang kelihatannya adalah berupa hukum tertulis, (Al Qur’an, Hadist atau kitab suci agama lainnya), tetapi sebetulnya pada mulanya adalah berupa hukum tidak tertulis, yang berupa, wahyu atau firman Tuhan atau perkataan atau perbuatan dari Nabi. Dengan demikian perbedan pokok antara hukum tertulis dan tidak tertulis adalah siapa pembentuk dan yang melahirkan hukum itu, kalau yang membentuk atau melahirkan adalah instansi atau institusi yang berwenang atau mempunyai otoritas, berupa penguasa atau pemerintah dan instansi non pemerintah maka hukum itu adalah hukum tertulis, walaupun bentuknya atau isinya tidak memenuhi persyaratan formal peraturan perundang-undangan. Bagaimanakah dengan suatu perjanjian tertulis antara pihak-pihak; itu bukan hukum tertulis, karena hanya berlaku khusus untuk pihak-pihak yang berjanji, dan untuk waktu tertentu saja. Sedangkan suatu hukum harus berlaku secara umum dan untuk waktu yang umum pula yaitu tidak terbatas.
Sedangkan hukum tidak tertulis dibikin dan dilahirkan oleh masyarakat pada umumnya, bukan oleh instansi atau institusi yang berwenang atau berkuasa, dan biasanya masa pembentukannya relatif lama, dan begitu pula berakhirnya memakan waktu yang relatif lama. Misalnya, kebiasaan, adat istiadat, hukum adat, kepantasan, tata susila, sopan santun, kepatutan , budaya malu dan sebagainya.

Hadirin Sidang Terbuka Senat Universitas Trisakti yang mulia.

Pancasila sebagai sistem nilai yang dijadikan dasar negara
Sebagai suatu sistem nilai yang dianut oleh bangsa dan masyarakat Indonesia, bahkan merupakan nilai luhur yang dijunjung tinggi, karena itu merupakan filsafat hidup dan filsafat negara Indonesia, maka sudah sepantasnya dijadikan dasar negara Republik Indonesia. Tetapi tidak cukup dijunjung tinggi, tetapi haruslah diwujudkan atau direalisasikan , sesuai dengan maksud dan fungsi dari suatu nilai yang baik bahkan luhur dalam hidup bermasyarakat. Karena merupakan nilai yang menyangkut kehidupan bermasyarakat, maka merealisasikannya atau mewujudkannya tidak cukup dengan pengamalan atau implementasi dari masing-masing anggota masyarakat Indonesia, tetapi diperlukan lagi suatu sarana lain seperti yang diuraikan di atas, yaitu adanya suatu aturan, atau hukum yang akan membantu mewujudkannya itu.
Dalam TAP MPR RI no. III tahun 2000, disebutkan dalam pasal 1 ayat 3. bahwa Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila, hal itu berarti Pancasila yang pertama kali dikenal sebagai dasar negara (akhir Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945), sekarang tegas menjadi Sumber Hukum Materiil , artinya menjadikan Pancasila sebagai sumber dari bahan utama untuk diatur dalam peraturan perundangan-undangan dalam hal ini terutama hukum tertulis di Indonesia, agar dapat semua nilai-nilai luhur yang yang sangat baik itu dapat direalisir dan diwujudkan dalam masyarakat dan negara Indonesia. Hal itu merupakan tujuan yang bersifat optimal atau maksimal artinya setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia harus dapat mewujudkan semua nilai-nilai luhur dari Pancasila tadi. Tetapi secara minimal seharusnya setiap peraturan perundang-undangan yang ingin mewujudkan nilai-nilai yang baik atau berfaedah lainnya dari semua sumber hukum materiil dari semua aspek kehidupan manusia dalam hidup bermasyarakat, misalnya bidang ekonomi, politik sosial atau pertahanan dan keamanan, haruslah minimal tidak boleh bertentangan dengan dengan nilai-nilai luhur dari Pancasila itu sendiri.
Dengan demikian akan terjawablah pertanyaan yang selalu menjadi polemik dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia tentang Pancasila, “Bagaimanakah melaksanakan Pancasila itu didalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara ? “
Sudah pasti jawabannya tidak cukup dengan : “ Haruslah dengan pengamalan dari masing-masing anggota masyarakat,” seperti pernah menjadi keharusan dalam zaman Orde Baru dahulu dengan melakukan penataran – penataran P-4.
Jawabannya yang tepat adalah sebagai berikut :
Pertama : Pancasila yang merupakan dasar negara yang tidak lain adalah merupakan juga nilai-nilai luhur dan baik yang akan diwujudkan dalam masyarakat dan negara Indonesia, haruslah dimasukkan dalam setiap peraturan perundang-undang di Indonesia secara maksimal, dan secara minimal setiap peraturan peraturan perundangan-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila itu. Itu jawaban yang pertama.
Kedua. Sedangkan jawaban yang kedua adalah setelah semua peraturan perundang-undangan secara maksimal mewujudkan nilai-nilai Pancasila atau minimal tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, maka peraturan perundang-undngan itu haruslah dilaksanakan atau ditegakkan dengan cara apapun oleh setiap aparatur negara.
Dengan demikian yang selama menjadi pertanyaan besar dalam masyarakat Indonesia bagaimanakah cara melaksanakan Pancasila itu, cukup dijawab dengan : “ Tegakkan semua hukum baik tertulis ataupun yang tidak tertulis, asal semua hukum tertulis dan kalau mungkin juga semua hukum tidak tertulis harus sudah berisi cara-cara merealisasikan atau mewujudkan nilai-nilai luhur Pancsila itu secara maksimal, atau minimal tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila itu.

Hadirin Sidang Senat Terbuka Universitas Trisakti yang mulia
Dari uraian yang saya sampaikan diatas, ada beberapa intisari dapat diambil yaitu :
1. Setiap orang termasuk para mahasiswa yang ingin belajar hukum, haruslah pertama kali mempersiapkan diri untuk senantiasa menjalankan atau melaksana kan hukum, baik hukum tertulis ataupun hukum tidak tertulis.
2. Marilah kita menyadari bahwa hubungan antara sistim nilai dan hukum sangat erat sekali, dan marilah kita menyadari hakikat hukum adalah bertujuan untuk merealisir nilai-nilai yang baik dan berfaedah dalam hidup bermasyrakat
3. Marilah menyadari bahwa dalam Undang-Undang Dasar, yang dijamin oleh negara adalah kemerdekaan untuk memeluk agama, bukan kebebasan beragama. Kemerdekaan memeluk agama dan kebebasan beragama mempunyai pengertian yang sangat berbeda, bahkan bertentangan sekali.
4. Ketentuan agama, dan nuansa agama sangat diperhatikan dan dominan dalam Hukum perkawinan di Indonesia, walaupun Indonesia bukan negara agama, berbeda dengan negara maju lainnya di dunia yang telah meninggalkan ketentuan agama dalam hukum perkawinannya.
5. Sudah saatnya kita dihimbau untuk menggunakan istilah hukum tertulis dan hukum tidak tertulis , dan meninggalkan penggunaan istilah kaidah hukum atau norma hukum dan kaidah sosial atau norma sosial lainnya.
6. Pancasila yang secara resmi, dikatakan sebagai dasar negara Republik Indonesia, adalah tidak lain merupakan sejumlah nilai-nilai yang sangat luhur, yang harus diwujudkan dalam masyarakat dan negara Indonesia; dan caranya tidak cukup dengan pengamalan saja dari masing-masing anggota masyarakat dan rakyat Indonesia, tetapi perlu dibantu dengan adanya aturan hukum baik tertulis ataupun tidak tertulis, secara maksimal mewujudkan nilai-nilai luhur dari Pancasila itu.

Hadirin Sidang Terbuka Senat Universitas Trisakti yang mulia.
Sebagai penutup, izinkan saya mengucapkan beberapa kata-kata ucapan terima kasih kami baik secara pribadi maupun dari keluarga kami yaitu :
1. Kepada Bp. Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, yang telah menanda tangani Surat Keputusan pengangkatan kami sebagai Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti terhitung mulai 1 Desember 2006, kami ucapkan terima kasih banyak, juga kepada seluruh jajarannya yang terlibat pengurusan Surat Keputusan tersebut, misalnya para staf di Kopertis Wilayah III, kami ucapkan terima kasih banyak.
2. Pada kesempatan yang mulia ini, saya pribadi mengaturkan terima kasih banyak kepada Bp. Rektor Univerrsitas Trisakti, Prof.Dr. Thoby Mutis yang telah berkenan menangani proses pengangkatan saya sebagai Guru Besar dan menerima kami sebagai salah seorang pengajar dengan predikat Guru Besar. Begitu pula dengan seluruh jajaran di Rektorat Universitas Trisakti, antara lain Ibu Dr. Ir. Asri N.I.Adjidarmo, MS Wakil Rektor I yang secara pribadi ikut menangani proses promosi kami. Kami ucapkan terima kasih juga kepada Bp. Prof. Dr. H.Yuswar Zainul Basri Ak. MBA Wakil Rektor II yang telah mengeluarkan Surat Keputusan kami sebagai pengajar di Universitas Trisakti dengan pangkat Guru Besar.
3. Kepada Bp. Prof. Dr. Ir. Soekisno Hadikoemoro, Ketua Majelis Wali Amanat Badan Hukum Pendidikan Universitas Trisakti, saya pribadi mengaturkan terima kasih kepada bapak, yang telah secara serius dan sungguh-sungguh secara pribadi tidak mengenal bosan lebih dari lima tahun ikut membantu proses pengusulan saya sebagai Guru Besar, sampai ke tingkat Departemen Pendidikan Nasional.
4. Kepada para anggota Senat Guru Besar Universitas Trisakti yang telah meneliti kelengkapan persyaratan untuk menjadi Guru Besar, saya ucapkan terima kasih banyak
5. Kepada Bp. H. Endar Pulungan, SH, MH, Dekan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, saya ucapkan terima kasih banyak, atas usaha dan bantuannya serta dukungannya dalam proses pengusulan saya sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Trisakti. Terima kasih juga kami sampaikan kepada para mantan Dekan Fakultas Hukum yang telah membantu pengusulan saya ini.
6. Kepada Sekretaris Senat Universitas Trisakti, Prof.Dr.dr. H.A.Prayitno, Sp.KJ, saya ucapkan terima kasih atas bantuan dan perhatiannya dalam proses pengusulan saya ini. Begitu pula kepada mantan Sekretaris Senat Universitas Trisakti, Almarhum Prof. E.Suherman, SH, yang pertama kali menangani usul pengangkatan saya sebagai Guru Besar, saya ucapkan terima kasih banyak.
7. Kepada bp.Sakwad Edy Kusuma, SH.MM, Kepala Biro Sumber Daya Universitas Trisakti beserta jajaran bawahannya, saya ucapkan terima kasih banyak yang membantu proses administrasi, dokumen pengangkatan saya.
8. Kepada bp. Prof.H.Boedi Harsono, SH, Prof. Dr.H.Andi Hamzah, SH serta Prof.Wahyana Darmadibrata,SH,MH saya ucapkan terima kasih atas nasihat dan bantuannya dalam proses promosi saya ini.
9. Kepada seluruh anggota keluarga besar Fakultas Hukum Universitas Trisakti, para Wakil Dekan I, II , III, dan IV, dan khusus kepada Sdr Ferry Edwar, SH,MH ,dan semua rekan-rekan para dosen, serta para teman tenaga penunjang administrasi, saya ucapkan terima kasih atas bantuan dan sokongan, serta doa untuk keberhasilan pengangkatan saya ini.
10. Kepada ananda Retna Dwi Savitri, SH,MH dan Thecia J. Mummau serta keluarga yang telah membantu saya melengkapi persyaratan untuk jabatan Guru Besar ini, saya ucapkan terima kasih banyak

Akhirnya dengan permohonan maaf kepada hadirin Sidang Terbuka Senat Universitas Trisakti yang mulia, perkenankan saya pada kesempatan mulia ini, saya mengucapkan terima kasih saya kepada ayahanda A.Malik Siddik (Almarhum) serta Umianda Hj.Rukiyah Syuib (Almarhumah), yang telah memberi bekal hidup dan kehidupan bagi kami pribadi, dan memang ayahanda adalah seorang guru di Sekolah Dasar Muhammadiyah di Plaju dan Palembang sedangkan ibunda adalah seorang muballighah, yang tidak heran hampir semua anak-anak beliau (6 orang) adalah guru, dan dosen di beberapa perguruan Dan last but not least, kepada sang isteri Hj.Kartinah Djamaran yang telah saling membantu dalam kehidupan berumah tangga lebih 44 tahun sampai sekarang, saya ucapkan terima kasih, sehingga ikut menyaksikan hari yang mulia ini, begitu pula kepada ketiga putra kami yang telah dewasa, malah dua di antaranya adalah tenaga dosen tetap di Universitas Tarumanegara, saya mengaturkan terima kasih atas doa dan sumbangannya kepada orang tuanya dalam meniti karier sehingga sempat pula menyaksikan hari yang yang berkesan bagi orang tuanya. Juga kepada saudara kandung saya yang sudah almarhum (tiga orang) dan yang masih hidup, yaitu kkd. H.Fahmi Malik, SE (75 tahun); yang baru lima belas hari yang lalu meninggal dunia di Jakarta pada hari Ahad, 30 Desember 2007 (20 Zulhijjah 1428 H) jam, 07.10 dan add. Ny.Hj. Mashati Syaiful Mahdi (59 tahun) dan keluarga saya sampaikan terima kasih atas doa dan bantuan dalam karier dan kehidupan kami sekeluarga.
Kepada hadirin Sidang Terbuka Senat Universitas Trisakti, saya ucapkan terima kasih atas perhatiannya dan kesabaran untuk mendengarkan uraian kami, dengan ucapan mohon maaf kalau ada yang tidak berkenan di hati. Akhirnya kami tutup dengan kata-kata, apabila hadirin beranggapan uraian saya diatas benar dan bermanfaat, hal itu hanyalah semua karena Allah SWT semata, sedangkan jika ada kekurangan atau kekeliruan dalam uraian saya, maka hal itu adalah karena saya, sebab sebagai makhluk-Nya , tentu mempunyai kekurangan dan kekhilafan.
Sekali lagi terima kasih dan maaf saya pribadi dan keluarga kepada para hadirin, terutama kepada para anggota Senat Universitas Trisakti yang mulia.
Semoga Allah S.W.T senantiasa memberkati kita semua dan melimpahkan Taufik dan Hidayah-Nya kepada kita semua . Amien.

WA’ALAIKUMSALAM WARAHMATULLAH WA BARAKATUH.



DAFTAR KEPUSTAKAAN

Dardji Darmodihardjo, Pengertian tentang nilai, moral, etika, dan pandangan
hidup” Makalah yang tidak dipublikasikan,1995)

Kansil, C.S.T. , Pengatar Ilmu Hukum, Jilid I, Balai Pustaka. 1992

Mochtar Kusumaatmadja, dan Arief Sidharta, , Pengantar Ilmu Hukum, Buku I, Alumni, Bandung. 2000

Notonagoro, Kuliah di Fakultas HESP Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
19 Oktober 1954

Rusdi Malik,H., Manusia dan Sistim Nilai serta Hubungannya dengan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Trisakti, (Hasil Penelitian). 2001

Utrecht, E. ,, Pengantar dalam hukum Indonesia, Balai Buku “Ichtiar. 1962.

ASIA’S INTERNATIONAL JOURNAL : Asian Profile ,Vol 34, No.3 June 2006.
Majalah MIMBAR BP.7 : NO. 63 TAHUN XI – 1993/1994.


RINGKASAN RIWAYAT HIDUP
H. RUSDI MALIK.

Nama : H. Rusdi Malik
N.I.K. : 1 5 0 2 / Usakti
Tempat / tanggal lahir : Plaju (Sumatera Selatan), 21 Mai 1935
Putra dari Ayah : A.Malik Siddik (almarhum 1968)
Ibu : Hj. Rukiyah Syuib (almarhumah 1978)
Menikah : (1963) Isteri : Hj. Kartinah Djamaran
Anak : 1. Zyad Rusdi, ST, M.Kom
2. Yassir Rusdi Malik, SSn, M.A
3. Farid Rusdi, SS, M.Si
Cucu : 3 (tiga) orang.
Alamat : Jalan Tebet Barat VI B no. 3 Jakarta Selatan
Telp. 021 – 8298164

Riwayat Pendidikan :
1942 – 1954 Menyelesaikan Sekolah Dasar dan Menengah di Palembang,
Payakumbuh dan Bukittinggi.
1960 Menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
1971 Menyelesaikan studi di Sekolah Staf dan Komando A.L (SESKOAL)
1985 Menyelesaikan studi di Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia
Jakarta, (S.2)

Riwayat Kepangkatan :
Di TNI-AL : 1961 - Letnan Satu - Wajib Militer
1962 - Kapten (Lokal) Wajib Militer
1963 - Kapten (Effektip) - Sukarela
1965 - Mayor (Lokal)
1967 - Mayor (Effektip)
1973 - Letnan Kolonel
1978 - Kolonel
1990 - Kolonel (Pensiun)


Di Universitas Trisakti : 1987 - Lektor (Y) IV A
1991 - Lektor Kepala Madya (P) IV B
1994 - Lektor Kepala (P) IV C
1 Desember 2006 Guru Besar (P) IV E

Pengalaman Kerja
1960 – 1961 Sebagai Staf Biro Hukum Departemen Pelayaran R.I. Jakarta
1961 – 1970 Sebagai Oditur pada TNI-AL di Belawan dan Surabaya
1963 - 1969 Komandan Polisi Pangkalan Angkatan Laut (TNI-AL), Surabaya
1971 - 1977 Sebagai Staf Kekaryaan KASAL di Mabes TNI-AL Jakarta
1977 - 1982 Sebagai Anggota MPR-RI di Jakarta (rangkap)
1977 - 1980 Sekretaris Lembaga (Seslem) di SESKOAL. Jakarta.
1977 – 1987 Sebagai dosen dan Perwira Penuntun di SESKOAL Jakarta.
1987 - sekarang Sebagai Dosen Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti
1999 – 2002 Ketua Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USAKTI.

Memberi kuliah mata pelajaran :
1. Di SESKOAL (1977-1987) : Hukum Internasional
Hukum Laut Internasional
Hukum Humaniter
Pancasila , Dasar Negara Rep. Indonesia.
2. Di Fakultas Hukum Universitas Trisakti :
Pengantar Ilmu Hukum
Hukum Perkawinan
Perbandingan Hukum Perdata
Pendidikan Pancasila
Pendidikan Agama Islam.
Pengalaman menulis :
Menulis artikel atau karangan pada beberapa majalah / jurnal mengenai hukum, misalnya di Majalah Hukum dan Pembangunan , Majalah Era Hukum, Majalah Hukum Trisakti, Majalah Mimbar BP-7 dan beberapa Surat Kabar di Ibu kota.
Menulis buku berjudul : “ Undang-Undang Perkawinan” 2000
“Peranan Agama dalam Hukum Perkawinan di Indonesia.” 2002

Tidak ada komentar: