Kamis, 10 November 2011

11 Nopember (11) 1911, SERATUS TAHUN USIA UMI HJ.RUKIYAH SYUIB

Hari ini 11 Nopember 1911, tepat SERATUS TAHUN usia umianda Hj. Rukiyah Syuib, walaupun beliau telah wafat pada 13 Mart 1978 yang lalu, tetapi bagi kami anak-anak beliau baik yang sudah meninggal atau pun yang masih hidup (add.Mashati dan saya Rusdi), merupakan umi atau ibu yang sangat kami sayangi dan cintai. Telah lebih tiga puluh tahun meninggalkan kami, tetapi kasih sayang belau masih terasa melekat pada kehidupan kami. Dan hanya dengan menulis sekedarnya dan curahan hati kami pada hari yang sangat menyentuh hati , hari seratus tahun usia umianda, sekiranya beliau diberi umur panjang oleh Allah SWT, kami merayakan dan memperingati beliau. Kebetulan hari-hari menjelang seratus tahun usia umianda, tepatnya tanggal 8 Nopember 2011 yang lalu, Pemerintah Republik Indonesia mengangkat Mr. Syafruddin Prawiranegara dan Buya HAMKA sebagai Pahlawan Nasional. Walaupun umianda boleh dikatakan jauh dari pergaulan dengan kedua tokoh terkenal itu dalam kehidupan sehari-hari, tetapi ada hal-hal yang walaupun sangat sedikit atau kecil sekali yang perlu dicatat sebagai hubungannya umianda dan ayahanda dengan kedua tokoh tesebut. Sehingga dengan demikian dengan gelar Pahlawan Nasional yang diberikan oleh Pemerintah kepada kedua beliau, kami sekeluarga ikut bahagia dan bangga dengan peristiwa itu.
Adapun hubungan atau peristiwa kecil yang yang terjadi dengan ayahanda dan umianda yaitu:
PERTAMA : Dengan Mr.Syafruddin Prawiranegara, yaitu pada waktu Mr.Syafruddin Prawiranegara sebagai Ketua (Presiden ) Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), berkedudukan dan menetap di KOTO TINGGI, Suliki, ketika itu ayahanda A.MalikSiddik adalah Wedana Militer untuk daerah Suliki dan Payakumbuh Utara, yang membawahi wilayah Suliki, dimana Koto Tinggi berada, sehingga tidak heran sebagai pemegang tanggung jawab wilayah dimana PDRI berada, ayahanda sering berhubungan dengan para pemimpin PDRI ketika itu, termasuk Mr.Syafruddin Prawiranegara. Ketika Mohammad Natsir bersama Dr.Halim, sebagai utusan dari pemimpin negara Republik Indonesia dibawah Ir.Sukarno dan Drs.Mohd.Hatta yang telah kembali di Yogjakarta, untuk menemui Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia dan menjemputnya kembali ke Yogyakarta, ketika upacara perpisahan dan pelepasan di negeri Padang Japang, Suliki, kira-kira akhir Juli 1949, yang memberi kata sambutan dan pemimpin upacara tersebut adalah ayahanda A.Malik Siddik sebagai tuan rumah dan Wedana Militer Daerah Suliki dan Payakumbuh Utara. Yang terakhir adalah dizaman Pemerintah Revolusioner Repulik Indonesia (PRRI), dimana Mr.Syafruddin Prawiranegara sebagai Kepala Pemerintahnya, sedangkan ayahanda A.Malikl Siddik sebagai Bupati kepala Daerah kabupaten Agam dari Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia tahun 1958-1960. Kesimpulannya ayahanda A.Malik Siddik, dan umianda serta anak-anak beliau bernama M.Ridha Malik, Murni, Hilal dan Mashati ikut masuk rimba di wilayah Kabupaten Agam sebelah barat, menderita entah dimana tidur dan makan yang akhirnya terdampar di desa Masang dipinggir laut sebelah utara Tiku, dimana adik saya, bernama Murni masih gadis umur 23 tahun meninggal (Desember 1960), karena sakit malaria, yang semuanya itu tidak lain sebagai ikut berpihak dan menyokong perjuangan dari Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, dimana Mr.Syafruddin Prawiranegara sebagai presidennya. Ayahanda A.Malik Siddik, bersama-sama orang-orang PRRI lainnya, (Mr.Assat. Mr Burhanuddin Harahap, Mohammad Natsir), setelah diberi amnesti oleh Pemerintah Indonesia, keluar dari Rimba pada awal tahun 1961. Yang keluar dulu dari Tiku, adalah umianda bersama Kkd M.Ridha Malik, add.Hilal dan Mashati serta mamanda A.Zaini St.Radjo Basa , lewat laut menyeberang dengan sampan arah ke Utara dan mendarat di Sibolga, kemudian menuju Medan, dan akhirnya ke Jakarta. Ayahanda sendiri baru kesempatan terakhir sekali keluar dari rimba melalui Tiku dan Bukittingi pada awal tahun 1961, dan akhirnya kami berkumpul di Jakarta.
Ada bantuan dan pertolongan dari bp. Mr Syafruddin Prawiranegara, kepada umianda pribadi adalah membantu memberangkatkan umianda pergi haji ke Mekah, melalui perusahan biro perjalanan haji yang dipimpin oleh Mr.Syafruddin Prawianegara padan awal tahun 1970, dimana umianda sempat bermukim di Mekah selama 3 bulan , yang kebetulan Duta Besar Rep.Indonesia di Jedah ketika itu adalah bp.Djanamar Ajam, `teman baik ayahanda dan umianda.
KEDUA : Dengan Buya HAMKA, keluarga ayahanda dan umianda adalah sangat dekat sekali, yang pertama kali saya ingat dan ketahui, adalah pernah Buya Hamka, menginap di rumah kami di Jalan 23 Ilir Palembang, selama lebih dari 3 hari, sekembalinya Buya Hamka dari Jakarta setelah menghadiri pemakaman Ayahanda buya Hamka yaitu Inyiak Rasul di Jakarta medio Mai tahun 1944, dimana ayahanda dan Buya Hamka sepanjang hari dan malam berdiskusi tentang masalah masyarakat dan agama Islam. Ketika itu buya Hamka menghibur ayahanda yang sedang berduka cita dan stress (kata orang sekarang), karena Muhammadiyah cabang Palembang dibubarkan oleh pemerintah pendudukan Jepang di Palembang. Buya Hamka ketika itu menasihatkan ayahanda untuk bekerja sama dengan Jepang, seperti yang dilakukan oleh Buya Hamka di Medan ketika itu sangat erat sekali dengan pemerintahan Jepang di Medan. Selanjutnya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Ayahanda dan Buya Hamka bersama sebagai anggota pengurus Muhammadiyah Sumaterat Barat. Ketika itu di Sumatera Barat, sebagai pemimpin Muhammadiyah ada 3 orang yang bernama ABDUL MALIK, yaitu A.Malik Karim (Buya Hamka), A.Malik Siddik (ayahanda sendiri), dan A.Malik Ahmad, yang kebetulan masing-masing mempunyai anak bernama RUSYDI. Dan pernah dizaman Jepang kkd Fahmi menginap (in de kost) di rumah Buya Hamka dai Padang Panjang, ketika kkd Fahmi bersekolah di Kuliyah Muallimin Padang Panjang. Ketika zaman Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) , bergerila melawan Belanda, Buya Hamka sebagai pemimpin Rakyat dan Muhammadiyah, memberi semangat perjuangan kepada seluruh rakyat di Sumatera Barat, berkelana masuk rimba dan keluar rimba, sedangkan ayahanda sebagai Wedana Militer di Payakumbuh Utara dan Suliki, dengan Bupati Militernya Buya Saalah Yusuf St Mangkuto, dan wakil Bupati Militer kabupaten Lima Puluh Kota adalah A.Malik Ahmad, sehingga Daerah Payakumbuh dan Suliki, dimana berada KOTO TINGGI pusat PDRI ada dibawah pimpinan pemerintah daerah yang berasal dari Pemimpin Muhammadiyah.
Yang terakhir, ketika acara baliek tando putri bungsu umianda bernama Mashati tahun 1971, dihadiri oleh Buya H.Malik Ahmad yang berlangsung di Gang Melinjo I no. 9 Tebet Barat (rumah Rusdi), sedangkan ketika kemudian berlangsung akad nikahnya add. Mashati dengan Ir Syaiful Madi di hadiri oleh Buya HAMKA di rumah Kkd Fahmi Malik di Komplek Perdatam Pancoran Jakarta Selatan.
Demikianlah sekedar hubungan keluarga ayahanda dan umianda dengan kedua tokoh Pahlawan Nasional yang baru dikukuhkan pada 8 Nopember yang lalu yaitu Bp.Mr. Syafruddin Prawiranegara dan Buya Hamka, yang kebetulan juga tepat dalam rangka memperingati 100 tahun umianda Hj.Rukiyah Syuib.
Sebagai tambahan atau melengkapi mengenai betapa rindunya kami anak-anak beliau dengan kehadiran umianda sekarang dengan kasih sayangnya, khususnya setelah keluar dari rimba dizaman PRRI, hidup merana , menderita selama setahun di gubuk reot di daerah Cipete, hidup dari derma dan sadakah teman dan sahabat umiada dan keluarga yang ada di Jakarta. Kkd Fahmi masih belum selesai kuliahnya di Fakultas Ekonomi U.I, sedangkan kkd.Ridha dan Mamanda A.Zaini sudah pulang ke Bukittinggi. Tinggal bersama Umianda yaitu add.Hilal dan add.Mashati, sedangkan ayahanda merantau ke Blitar, Rusdi sudah bertugas di Belawan.
Akhirnya Ayahanda danUmianda berkumpul di Blitar bersama add.Hilal dan Mashati, yaitu mulai tahun 1962 s/d 1968. Bagi saya pribadi (Rusdi), pada saat di Blitar ini, hubungan saya dengan umianda, bahkan sekarang ditambah dengan isteri merasakan betapa kasih sayang umianda kepada anak-anak beliau. Setiap bulan saya dengan isteri berangkat dengan jeep dari Surabaya, dan bermalam di Blitar, betapa gembiranya dan bahagianya umianda dan ayahanda menerima kami di Blitar, suatu kenangan yang sangat indah. Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa ayahanda dan umianda dan menyayangi keduanya dan memasukkan ayahanda dan umianda kedalam syurga Amin ya Rabal Alamin.
Umianda meninggal di rumah Sakit YARSI belakang Balok Bukittinggi, 13 Mart 1978, dilepas oleh kkd.Ridha dan Mak Gadang dan kkd. Fahmi yang baru datang dari London, ketika pemakaman, datang Rusdi dan isteri: Kartinah serta and.Farid, serta isteri Fahmi: Zurni. Sedangkan add. Mashati dan keluarga ketika itu merantau di Pare-Pare Sulawesi Selatan, add.Syaiful Mahdi ada datang ke Bukittinggi ketika itu. Sedangkan add.Hilal di Situbondo, sibuk dengan usaha lapaunya yang belum mantap. Add. Hilal tidak bisa pulang ke Bukittinggi karena isterinya Syaf akan melahirkan. Atiak Djiah, ibunda umianda masih hidup ketika itu, dan sempat melepas Umianda, Atiak meninggal pada Mai 1980. O, ya Rusdi sempat melihat umianda sakit terbaring di Rumah Sakit Yarsi, ketika itu terpaksa minta izin pada ketua Fraksi ABRI di Sidang Umum MPR RI, karena sebagai anggota MPR RI menghadiri Sidang Umum MPR RI bulan Mart 1978.
Demikianlah sekedar cukilan dan catatan dari saya pada peringatan 100 tahun umianda, semoga Allah SWT mengampuni dan memberkati umianda dan ayahanda dalam kuburnya AMIN.